Episode 6 Retak di Dalam Benteng
Amsterdam
Pagi di apartemen tepi kanal itu tidak lagi sehangat dulu. Sisa-sisa ketegangan dari percakapan malam sebelumnya---tentang email anonim dan foto Arga---masih menggantung di udara seperti kabut tipis. Nadiya mengaduk kopinya tanpa minat, tatapannya kosong menembus jendela. Arga mencoba memulai percakapan ringan tentang pameran yang akan datang, tapi suaranya terdengar sedikit dipaksakan. Senyum mereka tak lagi mencapai mata. Benteng yang mereka coba bangun bersama mulai terasa rapuh dari dalam.
Perkembangan kasus hukum mereka tidak membantu. Pengacara Nadiya di Amsterdam, seorang wanita Belanda yang kompeten bernama Ingrid, menjelaskan situasinya dengan gamblang. "Pengacara Tuan Wiranata di Jakarta sangat agresif," katanya melalui panggilan video, wajahnya serius. "Mereka menuntut pembagian aset yang sangat tidak proporsional, mempertanyakan alasan kepindahan Anda ke sini seolah-olah Anda melarikan diri dari kewajiban, dan sekarang... mereka mengajukan permohonan agar mediasi wajib dilakukan di Jakarta."
Jantung Nadiya mencelos. "Mediasi... di Jakarta? Aku harus kembali ke sana?"
"Kami akan melawannya, tentu saja," Ingrid meyakinkan. "Tapi ini jelas taktik untuk menekan Anda secara psikologis dan finansial. Proses ini bisa memakan waktu dan sangat menguras emosi."
Setelah panggilan berakhir, Nadiya duduk termangu. Kembali ke Jakarta berarti kembali ke pusat kekuasaan Nevan, ke tempat di mana luka-lukanya pertama kali tercipta. Bayangan Nevan---senyum manipulatifnya, tatapan dinginnya saat marah---mulai menghantuinya lagi, menyelinap ke dalam mimpi buruknya di malam hari. Ia mulai merasa cemas berlebihan, sulit fokus pada pekerjaannya di biro desain tempat ia mulai meniti karier baru.
Di sisi lain, Arga juga merasakan tekanan yang semakin berat. Bisnis galeri seni, meskipun tampak glamor, sangat bergantung pada reputasi dan kepercayaan. Entah bagaimana, desas-desus mulai beredar di kalangan kolektor dan seniman tentang "masalah pribadi" yang mungkin mempengaruhi stabilitas galeri Arga. Seorang investor potensial yang nyaris sepakat untuk mendanai ekspansi galeri tiba-tiba mundur dengan alasan yang tidak jelas. Arga juga membaca ulasan pameran terakhirnya di sebuah majalah seni berpengaruh; meskipun umumnya positif, ada satu kalimat menyindir tentang "fokus kurator yang tampaknya terbagi". Arga tahu ini bukan kebetulan. Ini adalah jejak tangan Nevan, yang bekerja dalam bayang-bayang untuk merusak fondasi hidupnya.
Rasa frustrasi mulai menggerogoti Arga. Ia berusaha tetap kuat untuk Nadiya, menjadi pelabuhan yang tenang. Tapi ada kalanya ia merasa lelah, marah karena diseret ke dalam perang yang bukan miliknya, dan---meskipun ia benci mengakuinya---ada secuil keraguan yang mulai tumbuh. Apakah Nadiya benar-benar sudah lepas sepenuhnya dari Nevan? Apakah ia cukup kuat untuk menghadapi ini semua?
Di tengah ketegangan itu, sebuah paket tiba untuk Nadiya dari Jakarta. Pengirimnya anonim, tapi Nadiya tahu itu dari siapa. Di dalamnya ada beberapa barang: sebuah syal kasmir yang pernah Nevan hadiahkan padanya di ulang tahun pertama pernikahan mereka, sebuah buku puisi dengan catatan tangan Nevan di dalamnya dari masa pacaran, sebuah foto mereka berdua tersenyum bahagia di depan Menara Eiffel saat bulan madu. Terselip secarik kertas dengan tulisan tangan Nevan yang familier: "Menemukan ini saat membereskan barang-barang lama. Mungkin kamu ingin menyimpannya. Kenangan indah layak disimpan, bukan?"