2. Cerita Dusta
Oleh: Tri Handoyo
"Satu.., dua.., tiga..!" Hitung mundur Japa. Ia menutup mata sambil berdiri menghadap sebuah pohon. "Empat.., lima..!"
Saat itu ia dan kakak-kakaknya main petak umpet di hutan. Kebetulan ia yang jadi penunggu 'pos', yaitu sebuah pohon terbesar di tempat itu. Semua kakaknya sedang berlarian berpencar mencari persembunyian.
Setelah berhitung sampai tiga puluh, ia membuka mata dan tugasnya adalah mencari mereka. Apabila ia berhasil menemukan persembunyian seseorang, ia akan teriak menyebut namanya dan kemudian harus beradu lari cepat untuk lebih dulu menepuk pohon yang sebagai 'pos'.
Suasana begitu hening. Rupanya kakak-kakaknya memang telah menyusun rencana jahat untuk meninggalkannya sendirian di hutan.
Raden Prawira begitu geram. "Katakan bagaimana ciri-ciri penculik keparat itu?" pintanya sambil menatap anaknya satu per satu.
Raden Suroso, yang berumur lebih tua setahun di atas Japa, tampak paling gemetaran. Ia mati-matian menahan agar tidak kencing di celana.
"Suroso, sebutkan ciri-ciri penculik itu!" bentak Raden Prawiro.
Raden Suroso sambil terisak langsung kencing di celana. "Saya tidak tahu, Romo!"
"Mereka dua orang yang besar-besar dan..!" sahut Raden Setioyoso.
"Kamu diam Setio. Romo tidak tanya kamu!" bentak Raden Prawiro. "Kamu Surontanu, katakan seperti apa wajah penculiknya!"
Giliran Raden Surontanu, yang berusia sembilan tahun, menjawab gelapan, "Mereka dua orang besar-besar yang..."
"Hei, yang ayah tanyakan itu wajahnya?"
"Ampun, Romo, saya tidak melihat wajahnya!"
"Tidak melihat! Kamu Sujiwo?"
Raden Sujiwo melirik saudara-saudaranya, semuanya menundukan wajah, menatap lantai.
"Baik. Setio, katakan seperti apa orangnya?"
"Dia berwajah brewok, Romo! Seperti seorang warok!"
"Dari mana kamu tahu kalau warok itu brewok?"
Mulut mereka semua terkunci rapat. Raden Prawira sudah curiga dari semula bahwa cerita putera-puteranya itu adalah dusta.
"Sekarang, ceritakan sejujurnya, atau kalian harus cari adik kalian sampai ketemu! Jangan pernah berani menginjakkan kaki di rumah ini tanpa membawa Japa pulang! Kalian dengar!"
Sambil menangis, mereka pun terpaksa menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
***
Japa, bocah kecil yang tabah itu, telah mengambil keputusan besar untuk ikut Eyang Jirnodhara. Keputusan nekad untuk menjadi seorang pengembara. Melalang buana mengikuti ke mana jalan takdir mengarahkan mereka berdua.
Setiap pagi, Eyang Dhara melatih Japa ilmu beladiri. Saat menjelang malam, kakek itu mengajarkan tentang ilmu agama, ilmu kehidupan, dan lebih banyak lagi tentang sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara.
"Bagaimana Eyang bisa tahu banyak hal mengenai sejarah?"
"Karena di samping eyang suka belajar, juga karena sebagian peristiwa eyang alami sendiri!"
"Eyang Dhara mau menceritakan mengenai Mahapatih Gajah Mada?"
"Kenapa Gajah Mada?"
"Karena beliau pendekar besar yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya! Pahlawan yang penuh misteri!"
"Dari mana kamu mendengar tentang dia?"
"Dari romo saya!"
"Ya, misteri itu akhirnya mengundang banyak versi, yang mencoba mereka-reka kisah hidupnya!" Eyang Dhara mengawali bercerita.
Tanpa terduga, malam itu adalah malam pertama yang sangat panjang bagi Japa. Ia begitu antusias mendengarkan Eyang Dhara yang bercerita hingga semalam suntuk.
Versi pertama menceritakan bahwa Gajah Mada berasal dari pulau seberang, Sumatera. Keyakinan itu berdasarkan cerita rakyat setempat, yang mengatakan bahwa nama Gajah Mada adalah nama julukan seorang pemuda pembantu setia Raja Adityawarman. Nama 'Gajah' diambil dari nama hewan raksasa yang mendominasi pulau Way Kambas di Sumatera, sedangkan 'Mada' berasal dari bahasa Minangkabau yang berarti anak yang bandel tetapi memiliki kemauan besar.
Beberapa sejarahwan meyakini kedatangan Gajah Mada ke pulau Jawa karena ikut serta Raja Adityawarman, yang saat itu membantu menumpas pemberontakan yang terjadi di Majapahit.
Dalam versi kedua, Gajah Mada diceritakan berasal dari daerah Bima, Nusa Tenggara. Menurut kesaksian para tetua Desa Ncuhi, mereka mengaku memiliki silsilah darah keturunan patih Majapahit yang termasyur itu. Kitab Negarakretagama juga dimiliki dan disimpan oleh mereka.
Versi ketiga menceritakan bahwa Gajah Mada berasal dari Bali. Menurut kisah yang diyakini penduduk Bali, Gajah Mada lahir dari keturunan Resi Begawan Sukerti. Dia memiliki ayah yang berasal dari kasta resi bernama Menak Madang.
Selama hidup di Bali, di awal tahun 1300an, Gajah Mada erat kaitannya dengan raja dari kerajaan di Buleleng, bernama Raja Bedhamuka. (Berdasarkan Babad Pungakan Timbul dan Babad Triwangsa).
Cerita turun temurun rakyat Bali mengisahkan bahwa Gajah Mada sendiri mengawali karier politik dengan menjadi penasehat perang untuk raja-raja tersebut. Gajah Mada memiliki istri yang juga orang Bali, yaitu bernama Ken Bebed dan Ni Luh Ayu Sekarini.
Versi keempat, menceritakan bahwa Gajah Mada berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara. Masyarakat Buton meyakini bahwa ayah Gajah Mada bernama Si Jawangkati, orang sakti berasal dari Johor yang datang bersama rombongan Si Malui. Gajah Mada adalah pengawal pribadi Si Malui.
Rombongan ini diperkirakan mendarat di pulau Buton pada tahun 1238 Masehi. Si Jawangkati disebutkan sebagai seorang muslim yang ahli kanuragan dan ahli berbagai ilmu kebathinan.
Awal mulanya, armada laut Si Malui dan Si Jawangkati mendarat di Kamaru, (yang saat ini letaknya di sebelah timur Kota Bau-Bau). Tak lama setelah tiba disana, Si Malui membuat benteng Wonco di Kamaru dan Si Jawangkati diperintahkan untuk membuat benteng Wabula di Wasuemba Lasalimu. Jarak antara keduanya sekitar 48 kilometer, arah selatan Kamaru.
Menjelang akhir abad XII, sekitar tahun 1287 Masehi, datanglah rombongan kakak beradik bernama Raden Jutubun (nama panggilan Bau Besi) dan adiknya yang bernama Lailan Manggraini, beserta 40 orang pengawal setia. Mereka datang ke pulau Buton untuk menyusul kakaknya yang bernama Raden Sibahtera yang telah datang lebih dulu. Ketiga kakak beradik ini merupakan anak selir Wijaya alias Prabu Kertarajasa.
Tak lama kemudian, Jawangkati dan Lailan Manggraini saling jatuh hati, dan mereka akhirnya menikah. Dari hasil perkawinan itu, lahirlah Gajah Mada.
Pada usia menjelang 15 Tahun, Gajah Mada dibawah ke pulau Jawa oleh ibunya, karena mendengar bahwa kakeknya, Raja Majapahit, tengah dalam kesulitan mengatasi banyak pemberontakan. Kedatangan Gajah Mada ke pulau Jawa bersifat rahasia, sehingga itu menjadi alasan kenapa kerajaan Majapahit tidak memiliki catatan sejarah mengenainya.
Versi kelima, ini mengacu pada Lontar Babad Gajah Mada. Dalam babad tersebut diuraikan bahwa orang tua Gajah Mada berasal dari Majalangu. Ayahnya bernama Curadharmawyasa, sedangkan ibunya bernama Patni Nariratih.
Mereka berdua adalah pendeta yang tengah berguru kepada Mpu Ragarunting. Curadharmawyasa dan Nariratih diceritakan saling jatuh cinta, tetapi karena terhalang posisi sebagai pendeta, maka hal itu mereka rahasiakan. Suatu ketika, Dewa Brahma merasuki tubuh Cura dan menggoda Ratih, sehingga mereka berdua terbakar api birahi dan sampai terjadilah persenggamaan.
Ratih akhirnya hamil, demi menyembunyikan aib itu, ia dan Cura pergi meninggalkan tempat Mpu Ragarunting. Mereka berdua mengembara ke dalam hutan sampai akhirnya singgah di sebuah desa di lereng Gunung Semeru yang bernama Desa Madha. Di tempat itulah bayi di dalam kandungan Ratih dilahirkan.
Bayi itu kemudian dipungut anak oleh Ketua Adat Desa tersebut. Dari nama desa inilah dipercaya anak itu kemudian mendapatkan nama. Sedangkan nama gajah bisa jadi merupakan suatu julukan bagi orang yang gagah perkasa. Dengan demikian Gajah Mada memiliki arti "Orang Perkasa dari Desa Madha".
Lontar Babad Gajah Mada juga mencantumkan tahun 1299 Masehi (1221 Saka) sebagai tahun kelahirannya. Jika babad ini memang benar, berarti Gajah Mada menduduki jabatan Patih, menggantikan Arya Tadah, pada umur 32 tahun.
"Sebetulnya masih banyak lagi versi mengenai asal usul Gajah Mada!" pungkas Eyang Dhara, "Yang bahkan tanpa didukung bukti-bukti apapun. Dikatakan bahwa Gajah Mada juga memiliki banyak  julukan, seperti Mpu Mada, Jaya Mada atau Dwirada Mada. Bahkan ada yang menyebutnya Lembu Muksa. Ia dianggap penjelmaan Mahadewa Wisnu. Kata "Gajah" mengacu pada hewan yang dalam mitologi Hindu dipercaya sebagai vahana (hewan tunggangan) Dewa Indra!".
Saat itu, sang raja alam tengah merangkak bangun, menyingkap tabir kegelapan, menampakkan semburat cahaya merah di ufuk timur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI