Essi 84 - Anggaran Berbasis Korupsi
Tri Budhi Sastrio - Kasidi
Setelah mungkin hanya presiden Indonesia yang diberi
   gelaran pendusta
Sekarang tiba giliran parlemen dan sebagian anggota,
    khususnya mereka
Yang bertanggung jawab menyusun anggaran, apakah
    anggaran miliknya
Pemerintah atau anggaran mereka sendiri, pokoknya itu
    anggaran negara,
Mendapat gelaran yang sama bahkan kini ada embel-
    embel tambahannya,
Banggar DPR sangat piawai menyusun bukannya
    anggaran berbasis kinerja.
Juga bukan anggaran berbasis keperluan, melainkan
    anggaran istimewa,
Anggaran berbasis rekanan yang kemudian
    disempurnakan oleh mereka
Menjadi anggaran berbasis komisi dan korupsi dan ini
    praktek sudah lama,
Sampai-sampai semua orang tidak lagi terkejut jika dari
    sana ada berita
Berkaitan dengan komisi dan korupsi ... ha ... ha ... ha ...
    bahkan tertawa ria,
Lho bukankah ini yang selama ini dikerjakan mereka,
    susun anggaran negara
Berdasarkan besarnya komisi dan celah korupsi,
    bukannya berbasis kinerja.
Pertanyaan mendasar lanjutannya, sebenarnya sih tidak
    apa-apa jika mereka
Hanya punya hak susun anggaran semata bukan hak
    pengawasan semesta.
Mereka boleh susun anggaran berbasis komisi dan
    korupsi, pengawasnya    Â
Kan bisa mencegah, menghentikan dan bahkan menyidik
    mereka semua.
Tetapi jika mereka yang buat juga yang menjadi
    pengawas ini geng mafia,
Hasil akhirnya dapat diterka, semua anggaran pasti tidak
   beres hilirnya
Karena memang sudah sejak di awal hulu sana niatnya
   memang komisia
Dan korupsinya dilakukan secara bersama-sama ... ah ...
   dasar mafia.
Sayangnya perilaku menyimpang ini memang disuka dan
      dilakukan para
Wakil rakyat dan para pejabat negara sehingga tidak
      mengherankan jika
Pemberantasannya sulit luar biasa dan bahkan mungkin
      mustahil jadinya.
Dari hulu ke hilir, dari mata air ke lembah muara,
      semuanya seia-sekata
Susun dan jalankan anggaran berbasis korupsi buatan
      para wakil dewa
Yang memang sengaja dipilih guna merampok habis-
      habisan uang negara.
Akibatnya jelas terasa dan terlihat kasat mata, orang
      miskin di mana-mana
Hanya bisa menatap nanar melihat bagaimana tumpuan
      harapan mereka
Sibuk berfoya-foya dengan uang yang seharusnya
      entaskan kaum papa.
Mereka sebenarnya melihat ini semua tetapi mengapa
      sepertinya buta?
Mustahil jeritan tangis tak terdengar, tetapi nyatanya?
      Mereka tuli semua.
Tak masuk logika jika jiwa mereka tak tersentuh
      penderitaan kaum hina?
Faktanya? Semua sukma jiwa tampak tak berkaitan
      dengan nurani mulia.
Yang papa, hina dan nista silahkan saja terus menderita
      kan itu takdirnya.
Yang kaya, mulia dan kuasa tak ada salahnya foya-foya
       toh itu harta mereka
Walau sebagian besar tentu saja didapatkan dari
      merampok uang negara.
Lalu sekarang bagaimana, mungkin yang tak berdaya
      terus bertanya-tanya.
Haruskah kami menghajar mereka tanpa perlu bertanya
      dan mengiba-iba?
Lalu bagaimana dengan ajaran agama yang haruskan
      mengasihi sesama,
Termasuk juga mereka yang bejat durjana dan perompak
      uang negara.
Inilah dilema kaum papa jika bertindak langsung turutkan
      nafsu semata,
Tetapi jika diam saja eh ... tuh mafia ... semakin heboh
      dan merajalela,
Bukan saja tak kenal takut dan malu, tapi dianggapnya
      semua kaum papa
Bodoh goblok, tak mengerti dan tak paham tindakan
      kaum pintar cendekia.
Reformasi sudah berlalu tetapi apa hasilnya? Hampir nol
      besar faktanya.
Lalu bagaimana dengan revolusi? Memang belum, hanya
      tanda-tandanya ada.
Essi 84 - tbs/kas -- SDA27012012 -- 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI