Akhir-akhir ini kerap berseliweran di timeline sosial media saya terkait berita korupsi pengadaan Chromebook di kementerian pendidikan, riset, dan teknologi pada masa kepemimpinan Nadiem Makarim. Terlihat wajah mas menteri, demikian sapaan akrabnya, yang tengah diwawancara wartawan seputar statusnya sebagai saksi dalam kasus korupsi tersebut tersebut. Dikutip dari beberapa sumber, dugaan kasus ini bermula pada tahun 2020-2022 saat Kemendikbud mempunyai program digitalisasi pendidikan dan mengalokasikan dana sekitar 9,3 trilyun untuk pembelian Chromebook melalui APBN dan DAK.
Uji coba awal di 2018--2019 oleh Pustekom Kemendikbud menunjukkan Chromebook tidak efektif karena masih banyak wilayah tanpa internet, sehingga tim teknis awal merekomendasikan Windows, bukan ChromeOS. Agustus 2019 Sebelum resmi dilantik menjadi Menteri, Nadiem dan staf khusus (Fiona & Jurist) membentuk grup WhatsApp bernama "Mas Menteri Core Team" untuk membahas agenda pengadaan TIK digitalisasi sekolah. Desember 2019 Jurist Tan membahas rencana teknis pengadaan Chromebook; dilanjutkan dengan kontrak kerja untuk Ibrahim Arief (konsultan teknologi) dan YK dari PSPK untuk menyiapkan kajian teknis OS.
Februari--April 2020 Nadiem bertemu pihak Google untuk membahas co-investment ChromeOS (30%) dan teknis pengadaan; Jurist kemudian mempresentasikannya dalam rapat internal dengan pejabat kementerian. Mei 2020 Â Ibrahim menunjukkan Chromebook dalam Zoom meeting dan memimpin pembuatan kajian teknis kedua yang menyertakan ChromeOS sebagai sistem operasi utama. Kajian teknis pertama---yang tidak menyebut ChromeOS---ditolak oleh timnya, akhirnya diterbitkan sebagai "buku putih" sesuai arahan.
Belakangan Kejaksaan Agung mencium adanya indikasi korupsi dalam proyek pengadaan chromebook tersebut. Akhirnya pada tanggal 15 Juli 2025 Kejagung menetapkan 4 tersangka, mereka adalah Mulyatsyah (Direktur SMP Kemendikbudristek 2020-2021), Sri Wahyuningsih (Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek 2020-2021), Jurist Tan (Mantan stafsus Mendikbudristek Nadiem Makarim) dan Ibrahim Arief (Mantan Konsultan Teknologi pada Kemendikbudristek). Sementara Nadiem Makarim kerap diperiksa dengan status sebagai saksi. Kasus masih bergulir dan tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka baru atau bisa juga berkembang ke ranah lainnya.
Saat membaca dan mengikuti perkembangan kasus ini terlintas dalam benak, apakah perilaku koruptif semacam ini sudah begitu mengakar bahkan membudaya dalam sendi kehidupan bernegara kita? Hingga hampir setiap hari berita-berita tentang korupsi berseliweran silih berganti memenuhi ruang-ruang kehidupan kita. Bahkan kementerian yang membidangi dunia pendidikan juga tidak lepas dari masalah korupsi? Saya membayangkan generasi murid masa kini (gen-z) adalah kaum melek teknologi dan hidup dalam lingkungan ekosistem sosial media.
Ketika para guru mereka, yang atas tuntutan tugas sebagai pendidik mengajarkan nilai moral etis tentang kejujuran, kesederhanaan, dan berbagai akhlak mulia lainnya terpaksa harus menelan ludah oleh karena apa yang diajarkan justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Dan anak murid tahu bahwa betapapun guru-guru mereka mengajarkan etika moral sebagai bagian dari pendidikan, pada kenyataannya perilaku korupsi masih merajalela di tengah masyarakat bahkan dilakukan oleh kementerian pendidikan yang notabene menaungi institusi sekolah mereka sendiri.
Lalu mereka bertanya dengan nada sinis pada gurunya yang setiap waktu mengajarkan akhlak mulia tentang kejujuran dan tanggung jawab tapi banyak oknum pejabat bahkan di lingkungan kementerian pendidikan sendiri justru terjerat kasus korupsi. Bagaimana kita harus memaknai semua ini?
Menjadi teringat dengan teori ciri-ciri manusia Indonesia menurut Mochtar Lubis. Mochtar Lubis, seorang wartawan dan sastrawan terkemuka Indonesia dari ranah Minang, menggambarkan dengan gamblang perilaku serta kehidupan bangsa Indonesia. Dalam bukunya "Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban)" beliau menyampaikan 12 ciri-ciri manusia Indonesia, salah satunya adalah "Hipokrit". Dalam KBBI "Hipokrit" disamakan artinya dengan "Munafik". Bahwa umumnya manusia Indonesia suka berpura-pura lain di bibir lain di hati. Ada ketidakjujuran dalam bersikap. Bukankah sikap ketidakjujuran ini juga dekat dengan perilaku korupsi? Jangan-jangan apa yang disampaikan Mochtar Lubis itu memang benar adanya.
Jalan Terjal Dunia Pendidikan
Waktu silih berganti tahun demi tahun berlalu. Menteri pendidikan hilir mudik berganti bersamaan dengan bergantinya rezim pemerintah berkuasa. Ganti menteri ganti kurikulum itu sudah menjadi rahasia umum. Kalaupun tidak sampai ganti kurikulum pasti ada pergantian istilah, metode pedagogi, kebijakan, dsb yang sejatinya masih berkutat pada spektrum yang sama. Dulu ramai istilah Merdeka Belajar dengan pembelajaran berdiferensiasinya sekarang mulai digaungkan metode baru bernama "Deep Learning".
Tercatat sudah terjadi sebelas kali pergantian kurikulum sejak negara kita merdeka di tahun 1945. Sebagai bentuk fleksibilitas dan adaptasi terhadap perkembangan zaman pergantian kurikulum adalah hal wajar. Tetapi juga harus dibarengi dengan kesiapan para pelaksana teknis di lapangan. Jangan sampai alih-alih ingin menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman malah justru membuat para guru dan pihak sekolah menjadi bingung karena terlalu sering gonta-ganti kurikulum dan istilah. Sehingga terjadi miskonsepsi dimana yang lama saja belum paham sudah berganti dengan yang baru padahal esensinya juga tidak jauh berbeda.