“Klik...!”, bunyi ponsel Draka.
Sementara itu, berjarak beberapa puluh meter dari mereka terdapat pohon besar yang tinggi menjulang dan batang, dahan dan rantingnya yang telah mengering, gundul tanpa dedaunan. Tampak sekawanan burung gagak bertengger di antara ranting-ranting kerontang bagai arang yang berserakan. Bulu-bulu hitam legam mereka berkilauan tertimpa sisa cahaya sore yang mulai samar. Mereka menatap dengan tajam tingkah polah ketiga laki-laki itu dan disusul dengan suara-suara teriakan burung gagak itu yang terdengar serak dan menyeramkan, memecah keheningan alam liar, dan menyisakan kesan misterius serta angker.
•••ΦΦΦΦΦ•••
Tiga belas hari kemudian, di suatu malam hari yang telah larut. Di dalam sebuah bus kota yang penumpangnya hanya tinggal empat orang dan sedang dalam perjalanan menuju terminal terakhirnya. Seorang penumpang laki-laki muda berambut panjang barusan masuk menaiki bus kota ini dan mengambil tempat duduk sendiri di bagian belakang.
Tiba-tiba dari balik tempat duduknya, Bonza yang rupanya telah bersembunyi dan menunggu kedatangan laki-laki itu tiba-tiba muncul dan dengan cepatnya memiting, mencekik leher dan membekap mulutnya dari belakang sehingga laki-laki itu terkejut, kesulitan bernafas dan meronta-ronta.
“diaam...!, diaam...!”, ancam Bonza
“berikan kunci ituuu...!”
“cepaaat...!, cepaaat...!”, perintah Bonza sambil lebih mengeraskan pitingan tangannya.
Dan dengan menahan rasa sakit laki-laki muda itu melalui tangan kanannya mengambil sesuatu dari kantong jaketnya lalu menunjukkan dua buah kunci safe deposit box.
Tanpa berfikir panjang, Bonza segera merebut kunci itu dan disusul dengan gerakan yang cepat dan keras memukul tengkuk lelaki muda itu hingga tak bergerak dan tak sadarkan diri lagi.