Jam enam lewat sepuluh, musala di ujung gang masih menahan dingin subuh. Udara basah sisa hujan malam, lantai semen licin, tapi anak-anak sudah duduk di tikar pandan, menunggu mobil pustaka keliling yang biasanya datang setiap Rabu. Mobil itu sejenis elf biru, pintunya diganti rak kayu berisi buku. Aku sudah tiga bulan menjadi relawan membaca di sini.
Kayla selalu datang paling awal. Rambutnya diikat seadanya, di tangannya ada payung kuning dengan ujung patah. Ia menata sandal anak-anak, menyapu tikar dengan sapu lidi, lalu menoleh padaku. "Nanti bacanya dua puluh menit ya, Kak. Habis itu kita cerita."
Dua puluh menit sudah jadi kebiasaan. Waktu singkat itu cukup untuk membuka satu halaman, menemukan satu kata, atau mengingat satu gambar.
Hari itu mobil pustaka datang terlambat. Anak-anak hampir berebut, Kayla buru-buru menahan. "Antri, satu-satu! Yang kecil duluan." Suaranya lebih mirip meniru gurunya daripada memerintah. Anak-anak pun tertib.
Deno, bocah berkulit legam yang selalu berlari paling cepat, menenteng dua botol bekas. "Buat ditukar poin kebersihan, Kak!" katanya bangga. Ia punya kebiasaan mengumpulkan sampah plastik dari jalan. Setiap minggu ia menyerahkannya ke bank sampah di kelurahan. "Biar lapangan bola kita nggak penuh sampah," ujarnya.
Suci datang sambil membawa tas kain bergambar Doraemon. Ia tidak pernah lupa mengucapkan terima kasih setiap kali menerima sesuatu, sekecil apa pun. Pernah, hanya karena diberi kertas lipat, ia menangkupkan tangan di dada. Kebiasaan kecil itu menular; teman-temannya jadi terbiasa membalas dengan sopan.
Bimo selalu membawa roti kismis buatan neneknya. Ia tahu beberapa temannya jarang sarapan. Setiap Rabu, ia menyobek roti itu jadi empat bagian. "Biar semua kebagian," katanya. Kadang ia masih ingin menambah gigitan untuk dirinya sendiri, tapi ia belajar menahan.
Ilham, anak paling kurus di antara mereka, punya kebiasaan unik: mencatat nama teman yang datang terlambat. Bukan untuk mengadu, tapi untuk memastikan teman-temannya tidak ketinggalan buku bagus. "Kalau ada yang nggak sempat baca, aku bisa pinjemin bukuku," katanya sambil mengangkat buku tulis tipis berisi catatan kehadiran.
Kayla sendiri memilih buku bergambar kupu-kupu. Ia mengeja pelan kata "metamorfosis" sambil tersenyum. Ia mencatat kata itu di bukunya, huruf-hurufnya masih besar dan miring.
Di rak warung ibunya, ada celengan ayam merah. Setiap ada kembalian seratus atau dua ratus rupiah, Kayla memasukkannya ke sana. "Buat beli kamus, Kak," katanya suatu kali.
Hari itu, setelah dua puluh menit membaca, mereka bercerita. Deno tentang sungai tempat ia suka bermain. Suci tentang museum yang pernah ia lihat di televisi. Bimo tentang kue cucur kesukaannya. Ilham tentang tukang pos yang tetap mengantar surat meski hujan deras. Kayla memeluk payung kuningnya dan bercerita tentang kupu-kupu yang harus diam dulu di dalam kepompong supaya sayapnya kuat.