"Janganlah kalian saling membenci, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi, dan jangan sebagian dari kalian menjual atas penjualan saudaranya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak menzaliminya, tidak menghinanya, dan tidak meremehkannya. Takwa itu di sini (beliau menunjuk ke dadanya tiga kali). Cukuplah seseorang dianggap jahat jika ia meremehkan saudaranya sesama Muslim. Segala sesuatu milik Muslim atas Muslim lain adalah haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR Muslim No. 2564)
Hadist ini menjadi cahaya penuntun untuk memahami kisah tiga warga Indonesia yang berniat menunaikan ibadah haji ke Makkah adalah cermin ketulusan.
Mereka tidak mempersoalkan fasilitas. Mereka hanya ingin memenuhi seruan Ilahi dengan hati nurani. Namun sistem yang ada seakan berkata: "Tidak cukup dengan iman. Harus dengan dokumen."
Pertanyaannya: siapa sejatinya tamu Allah, yang datang dengan cinta, atau yang membayar jutaan rupiah dalam prosedur administratif?
Seruan dari Padang Pasir
Saatnya umat Islam dunia bergerak. Jika Tanah Suci masih dipagari oleh sistem korporasi dan otoritas tunggal, siapa lagi yang akan memperjuangkan hak ruhani umat?
Indonesia harus memulai. Dari diplomasi OKI, fatwa ulama, hingga deklarasi nasional. Sebab haji bukan sekadar perjalanan fisik, ia adalah perjuangan spiritual.
Perjuangan itu, kini sedang menanti pemimpin yang berani bersuara.
Kini saatnya umat tidak hanya menjadi penonton, tetapi penggerak sejarah. Jangan biarkan kesucian Tanah Haram dikompromikan oleh kepentingan duniawi.
Biarlah suara dari padang pasir itu membangkitkan kesadaran global: bahwa kehormatan ibadah harus dijaga, hak umat harus diperjuangkan, dan cinta kepada Allah tidak boleh dipagari visa atau kekuasaan.
Dari Indonesia, cahaya perubahan bisa menyala. Semoga.