Komersialisasi ibadah bukan sekadar masalah biaya, tetapi menyangkut nilai. Ketika ibadah dijadikan ladang bisnis, maka bukan hanya makna sucinya yang terkikis, tetapi juga memunculkan ketimpangan yang menyakitkan.
Banyak umat yang telah menabung puluhan tahun, menjual harta, bahkan meminjam uang demi bisa menunaikan rukun Islam kelima ini. Tapi sistem justru memberatkan mereka dengan paket dan birokrasi yang berlapis.
Saat yang kaya bisa memilih layanan VIP dengan segala kenyamanan, yang miskin harus menunggu puluhan tahun atau bahkan gagal berangkat.
Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kesetaraan di depan Ka'bah, bukan segregasi berdasarkan isi dompet?
Tanah Haram adalah tempat semua umat Islam sejajar sebagai hamba Allah. Maka jangan biarkan sistem duniawi menciptakan kasta dalam ibadah. Jangan pula menjadikan kecintaan umat sebagai beban ekonomi yang mematahkan harapan.
Sebab haji bukan soal siapa yang mampu bayar paling mahal, tetapi siapa yang paling berserah dan tulus menuju panggilan-Nya.
Ketika sistem memprioritaskan layanan premium bagi yang membayar mahal dan membiarkan jamaah lansia serta dhuafa terlantar, maka inilah kezaliman modern dalam balutan pelayanan spiritual.
Waktunya Indonesia Memimpin
Indonesia adalah negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, dengan kuota resmi mencapai sekitar 221.000 jamaah pada tahun 2025 (203.320 jamaah reguler dan 17.680 jamaah haji khusus).
Sementara itu, Dana Kelolaan Haji yang dikelola BPKH telah mencapai Rp.171,65 triliun hingga akhir tahun 2024, sebagian besar dana ini digunakan untuk membiayai logistik dan layanan bagi jamaah di Arab Saudi (Sumber: BPKH.go.id & Berita Kemenag).
Ironisnya, Indonesia tak memiliki suara dalam pengambilan keputusan, termasuk soal kuota, biaya, atau standar pelayanan.