Mohon tunggu...
Tobari
Tobari Mohon Tunggu... Dosen Pascasarjana bidang Manajemen dan alumni S2 Fak.Psikologi UGM 1998 kekhususan Psikometri.

Berharap diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain, berusaha aktif menulis artikel inspiratif. Menjadikan tulisan sebagai sarana pencerahan jiwa, agar hidup tak sekadar berjalan, tetapi bermakna untuk mencari bekal kehidupan kekal di akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Haji, Iman, dan Tembok Administrasi: Saatnya Umat Islam Memimpin Perubahan

9 Juni 2025   22:19 Diperbarui: 9 Juni 2025   22:56 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi bantuan AI (Dokumen Tobari)

Haji, Iman, dan Tembok Administrasi: Saatnya Umat Islam Memimpin Perubahan

Oleh: Tobari

Musim haji tahun 2025 menyisakan kisah yang tak terlupakan. Tiga warga negara Indonesia yang hendak berhaji tanpa visa resmi diturunkan sopir taksi di tengah gurun panas perbatasan menuju Makkah.

Tanpa perlindungan, tanpa logistik memadai, dan tanpa akses legal, mereka berjalan kaki menembus padang pasir demi memenuhi panggilan suci.

Salah satu dari mereka, seorang dosen, meninggal dunia dalam perjalanan, sementara dua lainnya ditemukan dalam kondisi kritis.

Kisah pilu ini menjadi simbol kerasnya sistem yang memagari ibadah dengan batas-batas administratif yang tak terjangkau sebagian umat.

Hanya ada semangat yang terpanggil oleh kalimat suci:

"Dan serukanlah kepada manusia untuk berhaji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS Al-Hajj: 27)

Alih-alih disambut sebagai tamu Allah, dhuyufurrahman, mereka justru ditangkap dan dipulangkan.

Di sinilah nurani umat terguncang. Ibadah yang mestinya menjadi panggilan ruhani, justru dikekang oleh pagar-pagar administratif yang dibangun atas nama sistem.

Ketika Ibadah Menjadi Komoditas

Kisah tiga warga Indonesia yang nekad untuk melaksanakan ibadah haji ini lebih dari sekadar peristiwa; ia adalah simbol.

Simbol tentang bagaimana haji, ibadah kelima dalam Islam, kini berubah menjadi produk logistik yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang memiliki dana besar.

Fakta menyebutkan: biaya haji kini berada di kisaran $4.000 hingga $20.000, tergantung jenis paket dan negara asal jamaah.

Secara umum, paket ekonomis mulai dari $6.000-$7.000, sementara paket premium bisa mencapai $12.000 atau lebih, seperti dilaporkan oleh Associated Press (AP News, Juni 2025) dan platform Amaliah UK (Amaliah, Mei 2025).

Bahkan untuk jamaah Indonesia, meski hanya membayar Rp.61 juta, selebihnya disubsidi oleh dana umat dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Jika dahulu para sahabat datang ke Makkah dengan kesederhanaan, kini umat dibatasi oleh kuota, visa elektronik, barcode, dan sistem Syirkah, struktur korporasi yang mengelola ibadah dengan logika profit.

Tanah Haram Milik Umat, Bukan Korporasi

Seruan tegas mulai menggema dari berbagai penjuru dunia Islam. Makkah dan Madinah bukan properti satu kerajaan. Mereka adalah amanah ilahiyah untuk seluruh umat.

Dalam dua hadist yang sahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya Allah, bukan manusia, yang menjadikan Makkah sebagai tanah haram. Maka siapa pun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, janganlah menumpahkan darah di dalamnya dan jangan menebang pohon-pohonnya. Jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berperang di sana, katakan bahwa Allah hanya mengizinkan beliau untuk satu waktu tertentu, dan kini kesuciannya tetap seperti semula." (HR Bukhari No. 104)

"Sesungguhnya Allah menjadikan kota ini (Makkah) sebagai tanah haram pada hari Dia menciptakan langit dan bumi. Ia tetap haram karena kehormatan dari Allah hingga Hari Kiamat. Tidak halal bagi siapa pun sebelumku dan hanya dihalalkan bagiku selama beberapa jam dalam satu hari. Maka hari ini kesuciannya tetap seperti sebelumnya. Tidak boleh ditebang durinya, tidak boleh diganggu hewannya, barang yang hilang hanya boleh diambil untuk diumumkan, dan rumput segarnya tidak boleh dipotong." (HR Muslim No. 1353)

Komersialisasi ibadah bukan sekadar masalah biaya, tetapi menyangkut nilai. Ketika ibadah dijadikan ladang bisnis, maka bukan hanya makna sucinya yang terkikis, tetapi juga memunculkan ketimpangan yang menyakitkan.

Banyak umat yang telah menabung puluhan tahun, menjual harta, bahkan meminjam uang demi bisa menunaikan rukun Islam kelima ini. Tapi sistem justru memberatkan mereka dengan paket dan birokrasi yang berlapis.

Saat yang kaya bisa memilih layanan VIP dengan segala kenyamanan, yang miskin harus menunggu puluhan tahun atau bahkan gagal berangkat.

Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kesetaraan di depan Ka'bah, bukan segregasi berdasarkan isi dompet?

Tanah Haram adalah tempat semua umat Islam sejajar sebagai hamba Allah. Maka jangan biarkan sistem duniawi menciptakan kasta dalam ibadah. Jangan pula menjadikan kecintaan umat sebagai beban ekonomi yang mematahkan harapan.

Sebab haji bukan soal siapa yang mampu bayar paling mahal, tetapi siapa yang paling berserah dan tulus menuju panggilan-Nya.

Ketika sistem memprioritaskan layanan premium bagi yang membayar mahal dan membiarkan jamaah lansia serta dhuafa terlantar, maka inilah kezaliman modern dalam balutan pelayanan spiritual.

Waktunya Indonesia Memimpin

Indonesia adalah negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, dengan kuota resmi mencapai sekitar 221.000 jamaah pada tahun 2025 (203.320 jamaah reguler dan 17.680 jamaah haji khusus).

Sementara itu, Dana Kelolaan Haji yang dikelola BPKH telah mencapai Rp.171,65 triliun hingga akhir tahun 2024, sebagian besar dana ini digunakan untuk membiayai logistik dan layanan bagi jamaah di Arab Saudi (Sumber: BPKH.go.id & Berita Kemenag).

Ironisnya, Indonesia tak memiliki suara dalam pengambilan keputusan, termasuk soal kuota, biaya, atau standar pelayanan.

Saatnya berubah. Indonesia harus bangkit sebagai pemimpin moral dan diplomatik dunia Islam.

Kita perlu menginisiasi pembentukan Konsorsium Haji Internasional yang melibatkan negara-negara Muslim besar seperti Turki, Mesir, Pakistan, Nigeria, dan Malaysia.

Tujuannya: mewujudkan tata kelola Haramain yang syar'i, adil, dan berbasis wakaf umat.

Desain Ulang Pelayanan Haji: Dari Syirkah ke Wakaf

Jika sistem saat ini membuat umat tertindas, maka solusi terbaik adalah kembali ke akar: wakaf dan syura.

Sistem haji berbasis wakaf dapat menurunkan biaya hingga 40-60%, karena dana umat digunakan untuk pelayanan, bukan keuntungan. Di Kuwait, platform awqaf berhasil memangkas biaya haji sekitar 40% (Arab News, 2022).

Publikasi IRTI seperti "Waqf Resource Mobilization for Poverty Alleviation" menegaskan wakaf produktif mampu memberdayakan umat secara keuangan dan sosial tanpa memprioritaskan profit (baca laporan IRTI).

Selain itu, proyeksi pasar keuangan Islam global diperkirakan mencapai USD 12,5 triliun pada 2033, memperlihatkan ruang besar untuk optimalisasi wakaf produktif dalam penyelenggaraan ibadah haji (Market Scoop, 2024).

Melalui sistem ini, jamaah lansia, dhuafa, dan negara miskin bisa terbantu. UMKM lokal dan koperasi umat akan hidup kembali karena terlibat langsung dalam ekosistem haji.

Jangan Biarkan Cinta kepada Allah Dipagari Visa

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian saling membenci, jangan saling mendengki, jangan saling membelakangi, dan jangan sebagian dari kalian menjual atas penjualan saudaranya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak menzaliminya, tidak menghinanya, dan tidak meremehkannya. Takwa itu di sini (beliau menunjuk ke dadanya tiga kali). Cukuplah seseorang dianggap jahat jika ia meremehkan saudaranya sesama Muslim. Segala sesuatu milik Muslim atas Muslim lain adalah haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR Muslim No. 2564)

Hadist ini menjadi cahaya penuntun untuk memahami kisah tiga warga Indonesia yang berniat menunaikan ibadah haji ke Makkah adalah cermin ketulusan.

Mereka tidak mempersoalkan fasilitas. Mereka hanya ingin memenuhi seruan Ilahi dengan hati nurani. Namun sistem yang ada seakan berkata: "Tidak cukup dengan iman. Harus dengan dokumen."

Pertanyaannya: siapa sejatinya tamu Allah, yang datang dengan cinta, atau yang membayar jutaan rupiah dalam prosedur administratif?

Seruan dari Padang Pasir

Saatnya umat Islam dunia bergerak. Jika Tanah Suci masih dipagari oleh sistem korporasi dan otoritas tunggal, siapa lagi yang akan memperjuangkan hak ruhani umat?

Indonesia harus memulai. Dari diplomasi OKI, fatwa ulama, hingga deklarasi nasional. Sebab haji bukan sekadar perjalanan fisik, ia adalah perjuangan spiritual.

Perjuangan itu, kini sedang menanti pemimpin yang berani bersuara.

Kini saatnya umat tidak hanya menjadi penonton, tetapi penggerak sejarah. Jangan biarkan kesucian Tanah Haram dikompromikan oleh kepentingan duniawi.

Biarlah suara dari padang pasir itu membangkitkan kesadaran global: bahwa kehormatan ibadah harus dijaga, hak umat harus diperjuangkan, dan cinta kepada Allah tidak boleh dipagari visa atau kekuasaan.

Dari Indonesia, cahaya perubahan bisa menyala. Semoga.

Referensi:

  • QS Al-Hajj: 27
  • HR Bukhari No. 104. (link) 
  • HR Muslim No. 1353. (link) 
  • HR Muslim No. 2564. (link)  
  • Biaya haji global: AP News, Juni 2025. (link), Amaliah, Mei 2025. (link)
  • Kuota dan dana haji Indonesia: Kemenag.go.id. (link), BPKH.go.id.  (link)
  • Efisiensi wakaf haji: Arab News, 2022. (link)
  • Potensi wakaf dan keuangan Islam global: IRTI -- Waqf Resource Mobilization. (link), Market Scoop, 2024. (link)
  • Serial Refleksi Haji 2025-Mangesti Waluyo Sedjati. (link)  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun