Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kapan Terakhir Kali Kamu Benar-benar Merasa Sepi?

14 Oktober 2025   10:45 Diperbarui: 14 Oktober 2025   10:45 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Buku Sepi by pijarpsikologi

Bukan sekadar sendirian di kamar, bukan pula saat tak ada pesan masuk di ponsel.

Tapi sepi yang lebih dalam, ketika kamu sedang berada di tengah banyak orang, tertawa, tapi entah kenapa hatimu seperti kosong.
Ada rasa hampa yang tak bisa dijelaskan, seolah dunia tetap berjalan, tapi kamu tertinggal di sudutnya.

Kesepian semacam ini bukan hal baru, dan bukan cuma kamu yang mengalaminya.

Ironisnya, justru di zaman yang paling "terhubung" inilah manusia paling banyak merasa sendiri.

Kita punya ratusan teman di media sosial, tapi tak tahu harus bercerita ke siapa saat hati sedang remuk.

Kita bisa menelusuri hidup orang lain lewat story 15 detik, tapi sering kehilangan arah dalam kehidupan sendiri.

Inilah realitas yang ingin dibongkar oleh buku Sepi karya Pijar Psikologi, sebuah karya yang tidak hanya bicara tentang kesendirian, tapi tentang bagaimana sepi bisa menjadi ruang untuk bertumbuh.

Buku Sepi karya Pijar Psikologi mengajak pembaca berdamai dengan kesepian, mengenal diri, dan menemukan makna hidup melalui kesendirian yang bermakna. - Tiayarman Gulo

Kesepian di Dunia yang Terlalu Ramai

Coba perhatikan sekelilingmu.

Kita hidup di era di mana semua orang berlomba menjadi "terlihat".

Ada semacam ketakutan kolektif untuk tidak eksis.

Semua momen harus diunggah, setiap pencapaian harus dibagikan. Tapi di balik layar penuh notifikasi itu, banyak hati yang kering, kosong, dan diam-diam lelah.

Kesepian modern bukan karena tak ada orang, melainkan karena terlalu banyak kebisingan.

Kita diserbu konten motivasi, perbandingan sosial, dan opini-opini tentang bagaimana seharusnya hidup.

Kita terus mengonsumsi suara orang lain sampai lupa mendengarkan diri sendiri.

Itulah kenapa, saat tiba-tiba kita duduk sendiri tanpa distraksi, muncul rasa canggung.

Sunyi terasa asing.

Kita seperti kehilangan arah hanya karena tak ada yang bicara pada kita.

Padahal, bisa jadi justru di sanalah kita akhirnya benar-benar bisa mendengar suara hati yang paling jujur.

Mengapa Mengakui Sepi Terasa Memalukan

Dalam budaya kita, kesepian sering dianggap kelemahan.

Orang yang mengaku "merasa sepi" sering dicap kurang pergaulan, gagal bersosialisasi, atau bahkan "tidak normal."

Padahal, bukankah setiap manusia, tak peduli sekuat atau sesibuk apa pun, pasti punya momen ketika merasa sendirian?

Buku Sepi mencoba memutar balik cara pandang itu.

Ia mengajak pembacanya berdamai dengan perasaan sunyi, bukan untuk tenggelam di dalamnya, tapi untuk mengenalnya.

Sebab, bagaimana kita bisa sembuh dari sesuatu yang bahkan tidak mau kita akui?

Pijar Psikologi menulis dengan nada yang hangat dan empatik.

Alih-alih menggurui, mereka seperti teman yang menepuk pundak sambil berkata,

"Tidak apa-apa merasa sepi. Kamu tidak sendiri dalam perasaan itu."

Tentang Buku Sepi, Sebuah Dialog dengan Diri Sendiri

Buku ini diterbitkan oleh Elex Media Komputindo pada Januari 2022, ditulis oleh tim Pijar Psikologi, sebuah komunitas yang berfokus pada edukasi kesehatan mental di Indonesia.

Tebalnya 272 halaman, namun isinya bukan teori psikologi yang rumit, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia memahami kesepian.

Lewat tulisan-tulisan pendek, kutipan, dan ilustrasi perasaan, buku Sepi membimbing pembaca untuk menelusuri ruang batinnya sendiri.

Ia mengajak kita untuk berkenalan dengan sepi, mengenali dari mana datangnya, apa yang disembunyikannya, dan bagaimana mengubahnya menjadi kekuatan.

Buku ini juga mematahkan anggapan bahwa "menyendiri itu pasti menyedihkan."

Kadang, kesendirian justru menjadi ruang paling subur untuk menumbuhkan pemahaman diri.

Dari Kesepian Menuju Kesendirian yang Bermakna

Ada perbedaan besar antara kesepian dan kesendirian.

Kesepian adalah ketika kita merasa kehilangan koneksi, sementara kesendirian adalah saat kita menemukan kedamaian dalam diri sendiri.

Pijar Psikologi menulis,

"Kesepian yang kita kira menyedihkan, sebenarnya adalah kesempatan untuk berkarya dan bertumbuh sebagai manusia."

Kalimat ini sederhana, tapi menampar lembut.

Betapa sering kita menolak rasa sepi, padahal bisa jadi di situlah kita sedang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar.

Kesepian mengajarkan kita untuk menatap ke dalam, menata ulang prioritas, dan belajar menikmati keberadaan diri tanpa validasi siapa pun.

Sepi Bukan Musuh, Tapi Cermin

Buku ini menyarankan satu hal penting, jangan buru-buru lari dari sepi.

Diamlah sebentar. Rasakan. Dengarkan apa yang ingin dikatakan oleh sunyi itu.

Mungkin kamu akan menemukan bahwa sepi hanyalah cermin, memperlihatkan hal-hal yang selama ini kamu abaikan.

Ketakutan, luka lama, rasa kehilangan, bahkan mimpi yang tertunda, semuanya muncul ketika dunia di luar menjadi senyap.

Namun di situlah proses penyembuhan dimulai.

Sebab, tidak ada ruang pemulihan yang lebih jujur daripada ketika kamu sendiri berhadapan dengan dirimu sendiri.

Pelajaran Humanis dari Buku Sepi

  1. Tidak Semua Sepi Harus Dihilangkan. Kadang sepi adalah sinyal bahwa kita butuh istirahat dari hiruk-pikuk dunia. Ia bukan penyakit, tapi cara tubuh dan jiwa meminta jeda.
  2. Sepi Mengajarkan Penerimaan. Dengan menerima sepi, kita belajar bahwa kebahagiaan tak selalu datang dari orang lain, tapi dari kemampuan kita menerima kenyataan hidup apa adanya.
  3. Sepi Adalah Pintu ke Kreativitas. Banyak karya besar lahir dari kesunyian. Dalam hening, pikiran bebas menari tanpa gangguan.
    Barangkali, ide terbaikmu sedang menunggu di balik waktu-waktu sunyi itu.
  4. Sepi Membuat Kita Lebih Peka. Setelah mengenal rasa sepi, kita jadi lebih sensitif terhadap kesepian orang lain. Kita belajar hadir, bukan sekadar datang, tapi benar-benar menemani.

Ketika Sunyi Menjadi Rumah

Ada satu kisah yang sering muncul di kalangan pembaca buku ini.

Seorang pembaca muda menulis, "Aku membaca buku Sepi saat merasa hidupku hancur. Aku pikir aku butuh orang lain untuk memperbaikinya. Tapi ternyata aku hanya perlu duduk, diam, dan mendengarkan diriku sendiri."

Kalimat itu menggambarkan esensi buku ini, bahwa kita tidak perlu melawan sepi, cukup menyapanya.

Mungkin benar, kesepian tidak pernah benar-benar bisa dihapus. Tapi ia bisa dijinakkan.

Ia bisa menjadi teman perjalanan, mengingatkan bahwa di tengah segala keramaian, kamu tetap punya ruang pribadi di dalam diri yang menunggu untuk kamu pulang.

Sepi dan Empati

Hal yang paling indah dari memahami sepi adalah meningkatnya empati.

Kita jadi lebih berhati-hati dalam menilai orang lain.

Kita tak lagi cepat menyimpulkan bahwa seseorang "terlalu tertutup" atau "kurang pergaulan."

Mungkin mereka hanya sedang berdamai dengan sunyi mereka sendiri.

Dan saat kamu mulai nyaman dengan kesendirianmu, kamu juga akan lebih siap untuk hadir sepenuhnya bagi orang lain.

Kamu tak lagi menemani karena takut sendiri, tapi karena benar-benar ingin hadir.

Menutup Hari dengan Sepi yang Damai

Bayangkan malam yang tenang, lampu redup, dan kamu duduk dengan secangkir teh hangat.

Tidak ada notifikasi, tidak ada percakapan, hanya dirimu sendiri dan napas yang tenang.

Mungkin, itulah bentuk kebahagiaan yang paling sederhana, dan paling jujur.

Kesepian tidak akan hilang sepenuhnya dari hidup manusia. Tapi dengan memahami dan menerima kehadirannya, kita bisa menumbuhkan diri menjadi pribadi yang lebih matang, lebih sadar, dan lebih peka terhadap makna hidup.

Menyapa Sepi, Menyapa Diri

Buku Sepi karya Pijar Psikologi bukan sekadar bacaan untuk mengisi waktu senggang.

Ia adalah semacam cermin, membuat kita menatap sisi-sisi diri yang sering kita hindari.

Ia mengajarkan bahwa sepi tidak harus menakutkan, karena justru dari sanalah lahir kedewasaan emosional dan kepekaan hati.

Jadi, jika suatu hari kamu merasa hampa, jangan buru-buru mencari pelarian.

Mungkin, kamu hanya sedang diberi kesempatan untuk mengenal dirimu yang sesungguhnya.

Karena, seperti yang ditulis Pijar Psikologi,

"Kesepian yang kita kira menyedihkan, sebenarnya adalah kesempatan untuk berkarya dan bertumbuh sebagai manusia."

Sepi bukan tanda kelemahan, tapi tanda bahwa hatimu masih hidup.

Ia adalah ruang antara kejatuhan dan kebangkitan.

Dan siapa tahu, saat kamu mulai menerima sepi, justru di sanalah kamu menemukan versi terbaik dirimu, yang selama ini menunggu di balik hening.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun