Menahan laju angin sama saja seperti menahan rindu, sejak pertemuan hari itu
Bila kau lupa seberapa jauh kamu bertahan, biar bait-bait ini yang mengingatkan.
Mal Cedrung Sepidan Musiman
Tentang perempuan yang tak lagi dicintai
Di balik senja yang membiruAda cerita yang belum sempat terucapDi balik jarak yang jauhAda sebuah harapan yang ingin dicapai Senja yang sa
Segala yang ingin diucapkan dan di kenang akhirnya hilang dalam keheningan yang tak tersampaikan
Di sudur jalan ,senja meremang ,Seorang ibu duduk tenang Gerobak kecil uap kecium Somai hangat hati yang adem .Langit tengelam, mendung menu
Langit masih begitu gelap ditemani bintang bertabur terang Jaranan lengang dan sepi hanya sesekali terlihat kendaraan lewat
merintih akan ketiadaan kekasih pada sunyinya malam
Aroma nafasmu ketika tidur tak lagi ada Rindu suara manja mau ketika meminta makan
puisi ini menceritakan sosok ayah yang dulu ku anggap rumah, namun kini rumah itu hancur karena kencangnya badai yang terus menerus datang.
Kota ini mati bukan karena waktu, tapi karena kita yang tak tahu malu
Dan harapan, meski tercekik, selalu mencari celah untuk bernyanyi kembali.
Apakah aku layak? Apakah aku pantas dihargai? Apakah aku patut disayangi? Apakah aku bisa dicintai?
Sepi diluar Sepi menekan mendesak Lurus kaku pohonan Tak bergerak sampai ke puncak Sepi memagut
Sendiri bukan sekadar sepi, ia luka yang berdandan rapi.
Pasar Bendungan kian sepi, penjual pakaian paling terdampak. Belanja online dan harga jadi alasan utama pasar ditinggalkan.
Menunggu habis, bukan menunggu sembuh. Tentang Ceria yang tak lagi berseri. Bersiap menjadi manekin di toko baju.
Ruang hening yang terasa ramai di dalam dada. Tentang rindu yang tak sempat pulang dan keberanian bernapas dalam dunia yang sunyi.