Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa Dihargai Rupiah? Inilah Kontroversi Yusuf Mansur! Makna Dakwah di Era Digital

13 Oktober 2025   14:45 Diperbarui: 13 Oktober 2025   14:45 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kontroversi Yusuf Mansur (theasianparent.com/Dela Naufalia)

Doa, yang sejatinya merupakan bentuk paling pribadi dari hubungan manusia dengan Tuhan, bisa dikemas dalam format "layanan digital berbayar"?

Itulah yang terjadi beberapa waktu terakhir, ketika nama Ustaz Yusuf Mansur kembali mencuat ke publik lewat video promosi jasa doa online berbayar yang ia unggah sendiri.

Dalam video itu, Yusuf mengajak masyarakat untuk berdonasi lewat aplikasi PayTren, sembari menjanjikan akan "mendoakan secara khusus" setiap nama yang masuk.

Video tersebut langsung meledak. Warganet ramai membicarakannya, ada yang membela, ada yang mencibir.

Sebagian melihatnya sebagai inovasi dakwah modern, bentuk baru sedekah digital. Tapi sebagian lain merasa ada yang janggal, apakah doa kini sudah bisa dikomersialkan?

Namun sebelum buru-buru menghakimi, menarik untuk melihat lebih dalam, siapa sebenarnya Yusuf Mansur, bagaimana perjalanan spiritualnya, dan mengapa sosok ini selalu jadi magnet antara kekaguman dan kontroversi?

Perjalanan Yusuf Mansur dari santri hingga ustaz terkenal kini diuji lewat kontroversi doa online berbayar. Antara dakwah, bisnis, dan keikhlasan. - Tiyarman Gulo

Dari Santri Biasa ke Penceramah Nasional

Yusuf Mansur lahir di Jakarta, 19 Desember 1976.

Ia bukan anak konglomerat, bukan pula keturunan ulama besar. Masa mudanya cukup keras, bahkan sempat terjerumus dalam urusan hukum di usia muda. Tapi dari sanalah perjalanan batin itu dimulai.

Selepas peristiwa itu, Yusuf memutuskan untuk mondok di Pesantren Daarul Falah, Cilongok, Tangerang.

Di pondok sederhana itulah ia mulai mengenal dunia tafsir, fikih, dan yang paling penting, makna hidup yang dituntun oleh Al-Qur'an.

Para gurunya menanamkan nilai keikhlasan, kesabaran, dan pentingnya memberi manfaat bagi orang lain.

Setelah menamatkan pendidikan pesantren, Yusuf mulai berdakwah dari masjid ke masjid, kampung ke kampung, menyampaikan pesan sederhana,

"Kalau kamu punya masalah, sedekah. Kalau kamu ingin rezeki lancar, sedekah. Kalau kamu ingin doa dikabulkan, bantu orang lain."

Kalimat yang terdengar klise itu kemudian jadi fondasi dakwah hidupnya.

Ia membangun Pesantren Daarul Qur'an di Cipondoh, Tangerang, yang kini berkembang pesat, punya cabang di berbagai kota besar, bahkan hingga ke luar negeri.

Dari santri kecil hingga orang tua, semuanya belajar menghafal Al-Qur'an dan memahami makna hidup melalui ayat-ayatnya.

"Wisata Hati" dan Lahirnya Fenomena Yusuf Mansur

Nama Yusuf Mansur mulai dikenal luas di awal 2000-an lewat program televisi "Wisata Hati".

Gaya ceramahnya berbeda dari ustaz konvensional. Ia tak bicara dengan bahasa berat atau istilah Arab yang rumit. Ia bercerita dengan gaya seperti teman curhat, membahas hal-hal yang sangat dekat, rezeki, keluarga, cinta, ujian hidup.

Audiens pun tersentuh.

Ia membuat banyak orang percaya bahwa keajaiban bisa datang dari niat baik dan sedekah kecil.
Banyak kisah viral tentang orang yang "mendadak sukses" atau "disembuhkan" setelah bersedekah sesuai nasihatnya.

Dari situ lahirlah gerakan besar, Gerakan Sedekah Nasional, investasi syariah, program rumah tahfiz, hingga aplikasi PayTren.

Visi besarnya, memberdayakan umat melalui ekonomi dan spiritualitas sekaligus.

Namun, seperti dua sisi koin, semakin tinggi cahaya, semakin panjang pula bayangannya.

Ketika Doa Jadi Konten Digital

Masuk era media sosial, Yusuf Mansur bukan ustaz yang menolak teknologi.

Ia justru termasuk yang paling cepat beradaptasi. Instagram, YouTube, TikTok, semuanya jadi sarana dakwah. Tapi dari situ pula muncul gesekan antara dakwah dan digitalisasi ibadah.

Puncaknya terjadi saat ia meluncurkan program doa online berbayar lewat aplikasi PayTren.

Konsepnya sederhana, orang berdonasi melalui aplikasi, lalu namanya akan didoakan oleh Yusuf Mansur dan tim.

Dana yang terkumpul, menurut pihak PayTren, akan digunakan untuk kegiatan sosial, pendidikan santri, dan pengembangan pesantren.

Namun publik tak semuanya memandang positif.

Sebagian warganet menilai itu bentuk komersialisasi ibadah.

"Bukankah doa seharusnya gratis?" tulis salah satu komentar yang viral.

Ada juga yang khawatir, jika praktik seperti ini dibiarkan, bisa muncul pasar baru, "doa premium", "paket doa cepat terkabul", atau bentuk-bentuk ekstrem lainnya.

Antara Amal dan Algoritma

Fenomena ini menarik untuk dilihat dalam konteks yang lebih luas.

Di era digital, batas antara dakwah, hiburan, dan bisnis makin kabur.

Ustaz tak lagi berdiri di mimbar masjid saja, tapi juga di layar smartphone.

Dan ketika algoritma mulai ikut bermain, popularitas bisa jadi senjata sekaligus jebakan.

Yusuf Mansur barangkali hanya mencoba menyesuaikan cara berdakwah dengan zaman.

Tapi publik, yang kini makin kritis, menuntut transparansi dan kejelasan etika.

Apakah donasi itu murni amal? Ataukah ada motif ekonomi di baliknya?

Apakah doa yang diucapkan masih tulus jika diukur dengan nominal?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini wajar muncul di tengah masyarakat yang haus keikhlasan.

Karena pada akhirnya, yang dicari bukan sekadar ustaz populer, tapi figur spiritual yang dipercaya sepenuh hati.

Bisnis, Dakwah, dan Badai Kritik

Yusuf Mansur bukan hanya pendakwah, tapi juga pengusaha syariah.

Ia pernah mendirikan berbagai program investasi seperti Wisata Hati, PayTren, hingga proyek-proyek properti umat.

Sebagian berjalan baik, sebagian menuai masalah.

Beberapa kali ia diterpa tuduhan gagal bayar dan janji investasi yang tak tuntas. Namun setiap kali diserang, Yusuf punya satu jawaban khas,

"Saya manusia biasa. Tapi saya terus belajar untuk menebus kesalahan dengan kebaikan."

Ia jarang membalas dengan marah. Ia lebih sering menunduk dan meminta maaf.

Bagi sebagian pengikutnya, itulah bukti ketulusan.

Bagi sebagian lainnya, itu bentuk ketidakjelasan tanggung jawab.

Kontroversi demi kontroversi ini justru membuat nama Yusuf tak pernah redup.

Ia seperti magnet, menarik cinta dan benci dalam kadar yang sama besar.

Makna Dakwah di Dunia yang Serba Digital

Fenomena doa online berbayar sebenarnya membuka diskusi besar,

Bagaimana seharusnya dakwah di era teknologi dijalankan?

Dakwah kini bukan hanya urusan masjid dan majelis taklim.

Ia sudah masuk ke TikTok, podcast, YouTube, bahkan marketplace.

Ustaz, santri, hingga influencer sama-sama berlomba menebar kebaikan, tapi juga, tak jarang, mengejar like dan views.

Tidak ada yang salah dengan berdakwah lewat media digital.

Namun yang berbahaya adalah ketika tujuan spiritual berubah menjadi strategi pemasaran.

Ketika ibadah dikemas seperti produk, dan doa jadi bagian dari promo.

Yusuf Mansur mungkin tidak bermaksud sejauh itu.

Namun kehebohan ini seolah mengingatkan kita semua, bahwa teknologi boleh maju, tapi makna ibadah jangan mundur.

Keikhlasan tidak bisa diukur dengan rupiah, dan doa tak pernah bisa dikonversi jadi transaksi.

Kepercayaan, Mata Uang Dakwah yang Sesungguhnya

Dalam dunia keagamaan, kepercayaan publik adalah segalanya.

Begitu kepercayaan itu retak, sebaik apa pun niat dakwah, akan sulit diterima.

Bagi sebagian orang, Yusuf Mansur adalah inspirasi.

Ia mengajarkan banyak orang untuk bangkit dari keterpurukan lewat sedekah dan doa.

Tapi bagi sebagian lain, ia simbol bahwa agama bisa disalahpahami ketika bercampur dengan urusan bisnis.

Meski begitu, tak bisa dipungkiri, Yusuf tetap bertahan.

Ia terus berdakwah, tetap aktif di media sosial, tetap berbicara tentang harapan, tentang Allah, tentang hidup yang harus dijalani dengan niat baik.

Ada sesuatu yang manusiawi dari sosoknya, ia bukan malaikat, tapi juga bukan penipu seperti yang dituduhkan banyak orang.

Ia hanyalah seorang manusia yang berusaha membawa cahaya di zaman yang serba abu-abu.

Doa, Uang, dan Keikhlasan

Kasus ini membawa pelajaran penting bagi kita semua.

Bahwa dakwah di era digital bukan lagi sekadar soal isi ceramah, tapi juga cara menyampaikannya.

Transparansi, niat, dan kejujuran kini lebih penting daripada sekadar popularitas.

Dan bagi masyarakat, kita pun perlu belajar untuk tidak terlalu cepat menghakimi.

Tidak semua yang berbayar berarti menjual ibadah.

Namun juga tidak semua yang berlabel "amal" otomatis suci dari kepentingan.

Keseimbangan itu penting, antara berinovasi dan menjaga kesucian niat.

Karena kalau dakwah kehilangan ruh, maka teknologi hanya akan menjadikannya hiburan spiritual tanpa kedalaman.

Doa Tak Butuh Bayar, Tapi Butuh Kesadaran

Pada akhirnya, doa adalah ruang paling pribadi antara manusia dan Tuhan.

Ia tak butuh kuota, tak perlu aplikasi, tak perlu transfer dana.

Namun dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang mencari perantara, tempat untuk menitipkan doa, sekadar merasa didoakan.

Mungkin di sanalah letak fenomena Yusuf Mansur bisa dimaknai, ia bukan soal doa berbayar, tapi tentang rasa haus spiritual manusia modern yang kadang bingung menemukan jalan pulang.

Doa memang tidak bisa dibeli. Tapi kesadaran untuk berdoa sering kali butuh dorongan.

Dan jika dari kontroversi ini kita belajar untuk kembali mendekat pada Tuhan tanpa perantara uang, mungkin Yusuf Mansur, dengan segala pro dan kontranya, telah menjalankan satu bentuk dakwah yang tak disengaja, membuat kita berpikir ulang tentang makna doa itu sendiri.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun