Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) secara tegas menyebut bahwa setiap kendaraan bermotor wajib memasang pelat nomor dengan jelas dan tidak boleh diubah, dipalsukan, atau ditutupi sebagian.
Kalau tetap dilanggar, sanksinya cukup tegas, kurungan paling lama dua bulan atau denda maksimal Rp 500.000.
Bagi pengemudi ojek daring yang penghasilannya pas-pasan, angka itu jelas berat.
Tapi, di balik semua itu, masih ada pertanyaan besar yang menggelitik,
Kenapa sih sampai ada orang rela melanggar aturan hanya karena takut salah tilang?
Rasa Takut yang Datang dari Ketidakpastian
Kalau kita gali lebih dalam, inti masalahnya bukan pada lakban, tapi pada rasa takut dan ketidakpastian hukum digital.
ETLE sejatinya sistem canggih, ia merekam, mengenali pelat nomor, mencocokkan data kendaraan, lalu mengirim surat konfirmasi pelanggaran.
Namun, di lapangan, banyak pengendara yang masih belum paham mekanisme koreksi atau banding ketika merasa tidak bersalah.
Misalnya, kalau sistem salah mengenali pelat nomor, apakah mudah membuktikan?
Bagaimana kalau kendaraan serupa dengan pelat hampir sama?
Atau bagaimana kalau kendaraan yang terekam bukan milik kita, tapi datanya salah diinput?