Kamu merasa sudah hati-hati di jalan, tapi tetap saja was-was begitu melihat kamera tilang elektronik (ETLE) di atas lampu lalu lintas?
Nah, ternyata rasa was-was itu bukan cuma kamu yang rasakan. Di Jakarta Pusat, beberapa pengendara kini punya cara unik buat "mengantisipasi" hal itu , Â menutupi sebagian pelat nomor kendaraan mereka dengan lakban hitam.
Sekilas, memang terdengar seperti aksi nakal. Tapi tunggu dulu, ternyata alasan di baliknya lebih rumit daripada sekadar mau kabur dari polisi.
Pengendara tutupi pelat nomor pakai lakban bukan untuk nakal, tapi takut salah tilang ETLE di tengah minimnya kepercayaan pada sistem hukum digital. - Tiyarman Gulo
Ketakutan di Era ETLE
Rahman, 41 tahun, seorang pengemudi ojek daring, jadi salah satu contoh paling nyata.
Ia menutupi angka pertama di pelat motornya pakai lakban hitam. Bukan karena mau sembunyi dari hukum, katanya, tapi karena takut dapat surat tilang yang salah sasaran.
"Bukan niat nakal, cuma takut aja kalau tiba-tiba ada surat tilang datang. Saya tutup sebagian aja, nanti malam dibuka lagi," ujarnya ketika ditemui di kawasan Cikini.
Rahman punya alasan kuat. Ia mendengar cerita teman sesama ojek online yang tiba-tiba dapat surat tilang padahal tidak melanggar. Posisi motornya waktu itu hanya berhenti sebentar, tapi di sistem kamera, terbaca melanggar marka jalan.
Cerita seperti ini menyebar cepat di kalangan pengendara. Dan kalau sudah menyangkut urusan tilang, apalagi elektronik, banyak orang langsung memilih jalan aman, "daripada repot".
Antara Takut dan Tidak Percaya
Di satu sisi, teknologi ETLE hadir untuk membuat penegakan hukum lebih adil. Tidak ada lagi tilang "by feeling" atau "main damai". Semua berdasarkan bukti visual.
Tapi di sisi lain, muncul rasa was-was baru, bagaimana kalau sistemnya salah?
Teknologi memang tidak punya emosi, tapi bukan berarti tidak bisa salah. Kamera bisa salah membaca plat, sistem bisa error, atau posisi kendaraan bisa menimbulkan persepsi berbeda.
Dan di dunia nyata, siapa yang kena imbasnya? Ya, pengendara seperti Rahman, yang tiba-tiba dapat surat tilang padahal merasa tidak salah.
Fenomena ini bukan cuma soal hukum, tapi juga krisis kepercayaan antara masyarakat dan sistem.
Banyak orang ingin patuh, tapi takut diperlakukan tidak adil oleh mesin. Ironis, bukan?
"Saya Cuma Ingin Aman"
Bagi Rahman dan banyak pengendara lain, lakban di pelat nomor bukan bentuk pembangkangan, tapi simbol dari rasa tidak aman.
Mereka ingin "terlindungi", bukan ingin berbuat curang. Dalam logika sederhana mereka, kalau sistem kadang salah, maka manusia harus lebih cerdik menghindarinya.
Masalahnya, tindakan itu sendiri justru melanggar hukum.
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Ojo Ruslani, menegaskan bahwa menutupi pelat nomor kendaraan, baik dengan lakban, kertas, maupun benda lain, termasuk pelanggaran lalu lintas.
"Kalau ditemukan pelat yang ditutupi, anggota di lapangan akan memberikan edukasi dan peringatan. Tapi kalau pelat belakang tidak dipasang sama sekali, akan ditindak melalui ETLE," jelas Ojo.
Artinya, niat baik untuk "menghindari kesalahan sistem" malah bisa berujung pada pelanggaran yang nyata.
Sebuah paradoks kecil dalam dunia jalan raya modern.
Pelat Nomor, Identitas yang Tak Boleh Tertutup
Pelat nomor kendaraan itu bukan sekadar besi berangka hitam putih. Ia adalah identitas hukum yang melekat pada kendaraan kita.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) secara tegas menyebut bahwa setiap kendaraan bermotor wajib memasang pelat nomor dengan jelas dan tidak boleh diubah, dipalsukan, atau ditutupi sebagian.
Kalau tetap dilanggar, sanksinya cukup tegas, kurungan paling lama dua bulan atau denda maksimal Rp 500.000.
Bagi pengemudi ojek daring yang penghasilannya pas-pasan, angka itu jelas berat.
Tapi, di balik semua itu, masih ada pertanyaan besar yang menggelitik,
Kenapa sih sampai ada orang rela melanggar aturan hanya karena takut salah tilang?
Rasa Takut yang Datang dari Ketidakpastian
Kalau kita gali lebih dalam, inti masalahnya bukan pada lakban, tapi pada rasa takut dan ketidakpastian hukum digital.
ETLE sejatinya sistem canggih, ia merekam, mengenali pelat nomor, mencocokkan data kendaraan, lalu mengirim surat konfirmasi pelanggaran.
Namun, di lapangan, banyak pengendara yang masih belum paham mekanisme koreksi atau banding ketika merasa tidak bersalah.
Misalnya, kalau sistem salah mengenali pelat nomor, apakah mudah membuktikan?
Bagaimana kalau kendaraan serupa dengan pelat hampir sama?
Atau bagaimana kalau kendaraan yang terekam bukan milik kita, tapi datanya salah diinput?
Proses administrasi seperti itu sering kali panjang dan membingungkan.
Di sinilah celah ketidakpastian muncul, dan ketika orang tidak yakin sistem bisa melindungi mereka, maka mereka akan mencari cara sendiri untuk "melindungi diri".
Teknologi vs Kepercayaan Publik
Perlu diakui, Indonesia masih berada di fase transisi antara penegakan hukum manual dan digital.
Teknologi ETLE membawa efisiensi, tapi belum sepenuhnya berhasil membangun rasa percaya.
Bagi sebagian orang, kamera ETLE bukan simbol ketertiban, melainkan simbol pengawasan yang menakutkan.
Bukan karena mereka mau melanggar, tapi karena mereka tidak yakin apakah sistemnya sudah seadil itu.
Padahal, kalau kepercayaan ini bisa dibangun, maka masyarakat akan dengan sukarela mendukung teknologi hukum tanpa merasa diawasi secara tidak adil.
Masalahnya, kepercayaan tidak bisa diciptakan lewat spanduk sosialisasi, ia harus ditumbuhkan lewat pengalaman nyata.
Solusi, Edukasi, Transparansi, dan Rasa Aman
Kalau mau jujur, masalah "lakban di pelat nomor" bukan masalah hukum semata, tapi masalah komunikasi.
Masih banyak warga yang tidak tahu bagaimana cara mengklarifikasi tilang ETLE, atau ke mana harus melapor kalau sistem salah.
Solusi realistisnya bukan sekadar memperbanyak kamera, tapi juga memperbanyak edukasi dan transparansi.
Bayangkan kalau setiap warga tahu bahwa,
- Mereka bisa melihat rekaman pelanggaran secara online,
- Bisa mengajukan keberatan dengan mudah,
- Dan bisa mendapatkan kepastian bahwa sistemnya benar-benar akurat.
Apakah masih ada yang mau menutupi pelat nomor pakai lakban? Mungkin tidak.
Ketika warga merasa dilindungi, bukan diawasi, maka kepatuhan akan tumbuh dengan sendirinya.
Lakban, Cermin Kecil dari Keresahan Besar
Lakban hitam di pelat nomor mungkin terlihat sepele, tapi ia adalah simbol sosial yang besar.
Ia menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya percaya pada sistem hukum digital, bahwa rasa takut bisa mengalahkan rasa taat.
Kita bisa menertawakan Rahman dan bilang, "Ah, lebay amat, takut salah tilang aja pakai lakban segala."
Tapi di sisi lain, kita juga harus jujur, mungkin kalau kita ada di posisinya, kerja seharian di jalan, hidup dari setoran, lalu dengar kabar teman kena tilang salah, kita juga akan melakukan hal yang sama.
Penegakan Hukum yang Manusiawi
Hukum yang baik bukan hanya soal pasal dan kamera, tapi juga soal rasa aman.
Penegakan hukum seharusnya tidak menimbulkan ketakutan, tapi membangun rasa percaya bahwa sistem benar-benar adil.
Polisi bisa tetap tegas, tapi dengan pendekatan humanis.
Sementara pengendara, harus belajar bahwa "takut salah" bukan alasan untuk melanggar aturan.
Keduanya harus bertemu di satu titik, keadilan yang terasa nyata di jalan raya.
Antara Lakban dan Rasa Aman
Menutupi pelat nomor dengan lakban bukan solusi, tapi juga bukan sekadar kenakalan.
Ia lahir dari kegelisahan, sebuah bentuk "mekanisme bertahan hidup" di tengah sistem yang masih belajar menjadi sempurna.
Kita bisa menghukum pelakunya, tapi kalau tidak memperbaiki akar masalahnya, rasa takut dan ketidakpastian, maka lakban-lakban baru akan terus muncul, dari waktu ke waktu.
Di jalanan Jakarta, setiap potongan lakban hitam di pelat nomor adalah pesan sunyi,
"Saya bukan mau nakal, saya cuma ingin aman." (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI