Padahal semua itu bisa dihadapi dengan satu hal yang diajarkan Madilog, berpikir logis, objektif, dan ilmiah.
Itulah sebabnya buku ini, meski ditulis 80 tahun lalu, tetap terasa seperti baru kemarin sore.
Warisan dan Pesan Terakhir
Tan Malaka tidak hanya meninggalkan buku. Ia meninggalkan cara berpikir baru untuk bangsa yang sedang mencari jati dirinya.
Ia mengajarkan bahwa merdeka bukan berarti bebas melakukan apa saja, tapi bebas berpikir tanpa takut pada kebenaran.
Ia membuktikan bahwa revolusi sejati dimulai bukan dari senjata, tapi dari kesadaran.
Tragisnya, Tan Malaka wafat ditembak tanpa pengadilan pada 1949, hanya beberapa tahun sebelum Republik yang ia perjuangkan benar-benar berdiri kokoh.
Ia meninggal tanpa kehormatan, tanpa makam yang jelas. Tapi ide-idenya tetap hidup.
Kini, ketika dunia dipenuhi informasi palsu, fanatisme, dan kebisingan digital, Madilog kembali terasa seperti obor yang menerangi jalan pikiran.
Buku ini bukan sekadar bacaan, melainkan tantangan,
"Beranikan dirimu berpikir."
Saatnya Merdeka dari Kebodohan
Kalau kamu membaca Madilog hari ini, kamu mungkin tidak langsung paham semuanya. Tapi kamu akan merasakan semangat yang menular, semangat untuk memahami dunia secara jujur dan berani.