Ia menentang cara berpikir yang memuja "keajaiban" tapi melupakan kerja keras.
Ia mengkritik orang-orang yang sibuk berdoa untuk panen yang baik tapi enggan belajar tentang irigasi, tanah, dan cuaca.
Di sinilah kejeniusan Tan Malaka tampak, ia bukan sedang melawan agama, tapi melawan kemalasan berpikir.
Ia menginginkan masyarakat yang beriman dan berilmu, bukan yang hanya percaya, tapi juga memahami.
Relevansi Madilog di Era Modern
Kita mungkin sudah merdeka, tapi cara berpikir kita sering masih dijajah.
Kita masih cepat percaya pada teori konspirasi, masih terpecah karena perbedaan pendapat, dan masih sulit membedakan opini dengan fakta.
Dalam konteks itu, Madilog terasa seperti cermin yang menampar kita.
Bukankah ini yang dulu ia peringatkan?
Bahwa bangsa yang tidak berpikir kritis akan terus mudah diadu, dipecah, dan dikendalikan oleh pihak yang lebih cerdas?
Mari ambil contoh sederhana, Ketika ada isu kesehatan, orang lebih percaya pada broadcast WhatsApp daripada dokter.
Ketika ada perdebatan politik, orang lebih memilih emosi daripada data.