Di Indonesia, gas air mata sudah lama jadi senjata andalan aparat saat menghadapi demonstrasi. Namun, penggunaan di area kampus memunculkan pertanyaan serius, apakah pantas gas yang efeknya begitu menyiksa dipakai di ruang akademik yang seharusnya dilindungi?
Kampus, Ruang Aman yang Ternodai
Kampus bukan sekadar tempat belajar. Ia simbol kebebasan berpikir, ruang aman untuk berdebat, berbeda pendapat, bahkan mengkritik kekuasaan. Ketika aparat masuk dengan gas air mata, makna itu runtuh.
Mahasiswa yang selama ini berani turun ke jalan bisa saja kehilangan rasa aman untuk sekadar berkumpul di kampus. Bayangan malam penuh asap itu bisa menempel lama di ingatan mereka, ruang yang dulunya tempat berdiskusi, kini identik dengan rasa takut.
Sejarah Represi di Kampus Indonesia
Peristiwa di Unisba bukan yang pertama. Kita masih ingat tragedi 1998, ketika banyak kampus menjadi saksi represi aparat. Mahasiswa Trisakti ditembak, Universitas Indonesia dan ITB berkali-kali dikepung. Bahkan jauh sebelum itu, pada era Orde Baru, kampus sering dipantau ketat oleh intelijen.
Kampus yang seharusnya steril dari intimidasi politik justru berulang kali tercoreng oleh tindakan represif. Insiden di Unisba seakan mengingatkan kita bahwa sejarah kelam itu belum benar-benar pergi.
Aspek HAM dan Hukum
Secara hukum, kampus memiliki kekhususan. Undang-Undang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perguruan tinggi adalah ruang akademik yang dijamin kebebasannya. Masuknya aparat tanpa koordinasi jelas bisa dianggap pelanggaran.
Dari sisi HAM, penggunaan gas air mata di ruang tertutup atau area pemukiman dikecam banyak lembaga internasional. Amnesty International berkali-kali menegaskan bahwa gas air mata bisa membahayakan jiwa jika digunakan sembarangan. Apalagi ketika digunakan terhadap mahasiswa yang tidak sedang melakukan perlawanan aktif.
Dampak Psikologis dan Sosial
Luka akibat gas air mata bukan hanya fisik. Mahasiswa bisa mengalami trauma mendalam. Bayangkan, setiap kali mendengar suara sirene, mereka mungkin kembali teringat malam itu. Ruang diskusi bisa berubah jadi ruang ketakutan.
Bagi masyarakat sipil, insiden ini menimbulkan rasa tidak percaya pada aparat. Bagaimana bisa, aparat yang seharusnya melindungi justru menembakkan gas ke arah anak-anak bangsa?
Resonansi Publik
Sejak kabar ini tersebar lewat media sosial Suara Mahasiswa Unisba, publik ramai membicarakannya. Video amatir yang beredar memicu kemarahan netizen. Banyak yang menilai tindakan aparat berlebihan.