Mohon tunggu...
Tirta Adithiya nugraha
Tirta Adithiya nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - sedikitpi mahanganggur

bercita - cita menjadi elit global dan penerbang roket

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kau Lihatnya, Apa yang Kau Dengar

18 Oktober 2020   22:10 Diperbarui: 18 Oktober 2020   22:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

akankah--dari kau melihat--aku sajakku? kaku, baku dan tak laku seperti

itukah di dalam benakmu yang subuh? lampu - 

lampu di atas kepala seorang pria bocah

berkulit biru berkepala kotak, mata memejam

kiri, kanan membelalak menatapmu tali - 

tali penyambung menuju lilitan pohon 

palem dari kejauhan berpersegi merah

menyala, langit awan melebur antara :

coklat, biru, putih, hitam api berpola disana.

bocah itu sedang simpul, duduk melihatmu dapatkah

kau melihatnya? jari manisnya tersembunyi dalam

perut buncit tubuh kering kerontang tak

berperasaan, pakaiannya terbakar memakan

jiwa pasrah, tertanamkan kepala

banteng pada tongkat di sampingnya 

Hendaknya kau paham dia, dia melihatmu dan

dia sedang berbicara padamu melalui sajakku.

berkelabu militer, asap - asap semi transparan

pada suasananya, disekitarnya terlihat merah 

mentari tak tumbuh dikau lebur dimakan 

pohon - pohon cemara di kuping bocah

kiri, kanan adalah tandus Arab yang menangis

dalam coretan kuasnya kecoklatan, bisakah makna itu 

mengetuk matamu? pembaca sajak yang baik hati,

tanganmu telah menyentuh raganya yang kosong

tanpa rambut dan beruban merah maron kehijoan

kau lihat ia didatangi koloni dari cemarah

tegap mereka dalam samar dengan senapan 

era itu, mereka seperti hantu bertiga 

jingga merah muda, berjalan mengambang pada

tanah yang kau jejalkan, lihatkah engkau sayangku?

manis sekali pria bocah itu didudukannya dari

kerangka tulang hewan kuning hitam gosong

lihatlah baik - baik sayang, rasakan 

dengan nadi yang berdetak dan keringat

melambai dahi. hitamkan picik matamu dahulu, 

pelankan suara sumbang telingamu yang

menutup, 

air khayalmu dalam bersajak ruangku 

bingkainya dari kayu mahuni, kanvasnya

kulit terbaik, cet itu berasal dari 

darah - darah pelangi. Bersatu dalam lebur 

cerita hari ini.--kurus si bocah itu, lentik kiri bulu matanya

jantungnya nampak terbuka, lalu senyumnya,

dapat kau bayangkan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun