Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Moral Hazard Dunia Pendidikan Kita: Oknum Rahwana Vs Sosok Guru Oemar Bakri

11 November 2021   14:36 Diperbarui: 6 April 2022   06:26 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: geotimes.id

Sayangnya, item sumbangan dari masyarakat ini menjadi celah untuk mensiasati aturan tersebut yang patut diduga demi kepentingan pribadi atau kelompok. Hampir semua sekolah memanfaatkan POT atau komite sekolah untuk meminta sumbangan pendidikan yang diorganisir tidak sesuai dengan kaidah sumbangan masyarakat. Unsur sumbangan yang harusnya berdasarkan prinsip suka rela  tidak dijalankan. Banyak sumbangan pendidikan sudah dicantumkan jumlah nominalnya baik bisa satu nominal atau pilihan dengan tenggat waktu.

Dalam permendikbud 75 th 2015 komite sekolah juga tidak boleh menjual seragam sekolah. Namun demikian banyak sekali pelanggaran yang dilakukan entah melalui komite, melalui sekolah, atau bahkan dititipkan seolah sebagai aktivitas koperasi sekolah. 

Akibat dari dua hal tersebut di atas, banyak orang tua siswa yang tidak mampu membayar biaya tersebut dan banyak sekolah melakukan praktek penahanan ijazah siswa yang belum melunasi biaya sekolah.

Pendidikan tidak mungkin berhasil dengan baik jika tradisi memungut sumbangan ini menjadi kultur birokrasi pendidikan yang korup. Pungutan sering dibungkus menjadi seolah sumbangan, meski ciri suka rela tidak terpenuhi. Sumbangan tidak ditetapkan besaran jumlahnya dan tidak diwajibkan serta harus berdasarkan suka dan rela. 

Praktek yang terjadi dilapangan justru sebaliknya, banyak sumbangan disampaikan sebagai kesepakatan orang tua siswa dengan jumlah nominal tertentu dan terkesan diwajibkan. Mekanisme penentuan sumbangan berciri pungli ini biasanya dilakukan melalui rapat komite sekolah bersama orang tua sesudah kepala sekolah menyampaikan kebutuhan sekolah ini dan itu.

 Intinya sekolah merasa kekurangan dana untuk menyelenggarakan pendidikan yang ideal dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah. Alokasi anggaran Pendidikan dalam APBN dan APBD yang 20% sebenarnya sudah cukup besar. Ironis jika pihak sekolah masih harus bersiasat dengan Komite Sekolah untuk mencari celah penggalangan dana demi menutup kekurangan dana BOS. 

Banyak sekolah lantas mengada-adakan seragam ciri khas almameter, ikat pinggang, bahkan hijab dengan bordir sekolah yang harus dibeli oleh siswa. Harga rerata seragam yang dibeli dari pasar jauh lebih murah dari seragam yang dibeli di sekolah melalui komite.  

Refleksi pilihan tokoh imajiner Oemar Bakri atau Rahwana semoga menjadi otokritik untuk melakukan transformasi pendidikan dari keburukan sifat Rahwana menjadi ketauladanan dan kedisiplinan yang berintegritas dalam kesahajaan Oemar Bakri. (TA)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun