Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Moral Hazard Dunia Pendidikan Kita: Oknum Rahwana Vs Sosok Guru Oemar Bakri

11 November 2021   14:36 Diperbarui: 6 April 2022   06:26 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: geotimes.id

Pengaruh pemikiran positivistik bahwa kehebatan kerja otak manusia seolah mampu menyelesaikan semua masalah, akan menyesatkan kita untuk membentuk manusia sejati yang berakal budi mulia. 

Monyet juga punya otak, dan induk monyet belum pernah dilaporkan ada yang gagal memonyetkan secara sejati anak monyetnya. Semua anak monyet yang dituntun induknya di hutan, mesti menjadi monyet sejati. 

Kalau monyet saja bisa mensejatikan keturunannya, sebetulnya manusia bisa lebih dari itu karena punya hati, punya perasaan, punya batin. Sistem duniawi kita yang semakin materialis membuat jauhnya keseimbangan antara otak dengan hati, antara logika rasional dan perasaan. 

Hal mementingkan obyektivitas nalar ini merupakan salah satu pengaruh dari aliran filsafat positivisme dengan tokohnya  Auguste Komte (1798-1857), seorang sarjana matematika dan fisika asal Perancis. 

Ia menuliskan buku tentang kajian fenomena sosial melalui metode empiris, yang kemudian dalam perkembangannya disebut sebagai aliran filsafat positivisme. Jika pengetahuan melampaui obyektivitas dan masuk menembus batas subyektifitas, maka informasi seperti itu tidak memenuhi syarat sebagai pengetahuan. 

Positivis percaya bahwa sains adalah media yang dapat mengungkap kebenaran di dunia ini, antara lain melalui ilmu alam seperti fisika, kimia, dan biologi yang dihitung sebagai sains. 

Pemikiran aliran filsafat positivisme menolak kebenaran theologis dan metafisik karena sulit diukur secara obyektif.  Ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan ilmu politik tidak termasuk dalam kerangka aliran positivisme ini, karena dalam ilmu-ilmu sosial, pengetahuan dianggap berasal dari pengalaman subjektif individu yang tidak dapat diukur dan diamati. 

Para positivis menyebut ilmuwan sosial tidak obyektif karena mereka tidak terlibat dalam penelitian di dalam laboratorium. Laboratorium mereka adalah masyarakat dimana dinamika pergerakan, hubungan antar manusia tidak dapat dikendalikan sehingga pengetahuan yang diperoleh melalui studi tentang sikap manusia, relasi sosial, kisah hidup, dll. dianggap subyektif.  

Thesis aliran filsafat positivisme ini tidak lama kemudian mendapat penolakan. Karl Raimund Popper (1902 - 1994), seorang filsuf Inggris dikenal karena penolakannya terhadap pandangan induktivis klasik tentang metode ilmiah yang mendukung falsifikasi empiris. 

Pandangan ini kemudian menjadi aliran filsafat Post-positivisme yang berkembang pada abad ke-20. Pandangan ini bukan sekadar merevisi positivisme, tetapi merupakan penolakan total terhadap nilai-nilai inti positivisme. Post-positivisme menunjukkan bahwa penalaran ilmiah sangat mirip dengan penalaran akal sehat manusia.  

Post-positivisme juga mengasumsikan bahwa para ilmuwanpun tidak pernah objektif dan bias kepercayaan serta budaya mereka. Dalam pengertian ini, objektivitas murni tidak dapat dicapai karena ada perbedaan besar antara positivisme dan post-positivisme, meskipun keduanya didasarkan pada objektivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun