Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Kita Sudah Merdeka?

17 Agustus 2024   21:26 Diperbarui: 18 Agustus 2024   21:45 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam membangun bangsa yang berdaulat. Di Indonesia, pendidikan sering dijadikan indikator keberhasilan kemerdekaan, baik dari segi akses, kualitas, maupun kebebasan berekspresi. Namun, apakah pendidikan di Indonesia benar-benar sudah merdeka? Apakah sistem pendidikan kita telah bebas dari belenggu kolonialisme pemikiran, kebijakan yang kaku, dan kesenjangan sosial.

1. Kebebasan Berpikir dan Kurikulum yang Kaku

Kemerdekaan pendidikan seharusnya mencakup kebebasan berpikir, di mana peserta didik dapat lepas dari belenggu kebodohan dan dogma serta didorong untuk berpikir kritis dan inovatif. Namun, sistem pendidikan di Indonesia sering terjebak dalam kurikulum yang kaku dan berfokus pada nilai akademis, mengabaikan kreativitas dan kebebasan berpikir.

Kurikulum sering kali dirancang dengan pendekatan top-down, di mana pemerintah menentukan standar yang harus diikuti sekolah di seluruh negeri. Pendekatan ini, meskipun bertujuan untuk keseragaman, kerap membatasi ruang gerak guru dan siswa dalam mengeksplorasi ide-ide baru. Pola pengajaran yang berfokus pada hafalan dan nilai ujian membatasi pengembangan keterampilan berpikir kritis, analitis, dan kreatif.

Selain itu, pergantian kurikulum yang sering tanpa arah yang jelas justru menambah kebingungan. Alih-alih membebaskan pendidikan, perubahan ini menciptakan beban tambahan bagi siswa dan guru yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan yang belum tentu relevan dengan kebutuhan zaman.

2. Kesenjangan Sosial dalam Akses Pendidikan

Kemerdekaan pendidikan juga berarti memberikan akses yang setara bagi semua kalangan. Namun, di Indonesia, kesenjangan akses pendidikan masih mencolok. Sekolah dengan fasilitas modern dan tenaga pengajar berkualitas tersedia di kota-kota besar bagi kalangan yang mampu, sementara di daerah terpencil, banyak anak kesulitan mendapatkan pendidikan layak. Infrastruktur yang buruk dan kurangnya fasilitas serta guru menjadi tantangan besar.

Kesenjangan ini menciptakan perbedaan kualitas pendidikan antara kota dan desa serta antara keluarga kaya dan miskin. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat pemersatu bangsa justru memperkuat kesenjangan sosial. Anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan, sementara mereka yang lebih mampu memiliki peluang lebih besar untuk meraih kesuksesan.

Dalam konteks ini, pendidikan di Indonesia belum bisa dikatakan merdeka. Kebebasan untuk belajar dan berkembang belum dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang berada di daerah terpencil dan kurang mampu secara ekonomi.

3. Beban Mental dan Tekanan Sosial dalam Pendidikan

Kemerdekaan pendidikan juga harus mencakup aspek psikologis, di mana siswa bebas dari tekanan yang merusak mental mereka. Budaya pendidikan di Indonesia sering menekankan prestasi akademis yang diukur melalui nilai ujian dan ranking kelas. Tekanan ini menyebabkan kecemasan, stres, dan kehilangan minat belajar pada siswa.

Budaya kompetitif mendorong siswa untuk mencapai "sukses" menurut standar masyarakat, tanpa mempertimbangkan minat dan potensi mereka. Banyak siswa dipaksa memilih jurusan yang dianggap lebih menjanjikan secara finansial, seperti kedokteran atau teknik, meskipun minat mereka berada di bidang lain. Tekanan ini datang dari sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Pendidikan yang merdeka seharusnya memberikan ruang bagi siswa untuk mengejar minat dan bakat mereka tanpa terikat harapan dan tekanan yang tidak realistis. Kebebasan sejati dalam pendidikan harus menghargai keunikan individu dan membiarkan siswa menentukan jalan hidup mereka sendiri.

4. Peran Guru dalam Memerdekakan Pendidikan

Guru memegang peran penting dalam menciptakan pendidikan yang merdeka. Namun, profesi guru di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan kesejahteraan yang rendah, beban administratif yang berat, serta kurangnya pelatihan. Guru yang merdeka adalah guru yang mampu berinovasi, memberikan kebebasan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan potensi mereka, serta berperan sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran.

Guru di Indonesia sering terjebak dalam rutinitas administratif yang menyita waktu dan energi, menghambat mereka dalam memberikan pengajaran yang kreatif dan inspiratif. Untuk menciptakan pendidikan yang merdeka, guru perlu diberdayakan melalui peningkatan kesejahteraan, pelatihan yang memadai, dan kebebasan untuk menerapkan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa.

Meskipun Indonesia telah merdeka secara politik, pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya merdeka. Tantangan seperti kurikulum yang kaku, kesenjangan sosial, tekanan mental pada siswa, dan keterbatasan kebebasan bagi guru masih menghambat tercapainya pendidikan yang benar-benar bebas. Pendidikan yang merdeka seharusnya membebaskan siswa dari belenggu pemikiran sempit, memberikan akses setara bagi semua, serta menghargai kebebasan individu dalam mengejar cita-cita dan potensi mereka.

Untuk mencapai pendidikan yang merdeka, kita harus terus memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia agar setiap anak memiliki kebebasan dalam belajar dan berkembang sesuai dengan kemampuan serta keunikan mereka masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun