Puisi: Nyanyian Buruh di Bawah Langit Monas
Di bawah langit kelabu Monas muram,
menderap langkah kaki, menyatu dalam gelombang,
bukan sekadar pesta orasi, namun jerit luka meradang
rupiah jatuh, harapan kian meruntuh,
langkah kaki pun tak akan pernah surut
Kini pabrik membisu, sunyi tak ada lagi suara
mesin enggan bernyanyi, tak menghibur hati berdetak,
produksi garmen dan sepatu bukan lagi harapan,
hanya sisa tetesan peluh pada benang getirnya kehidupan
berharap PHK bukan menjadi sarapan pagi bagi kami
Penguasa datang, menghadirkan janji
tersenyum menatap wajah lelah memikul beban sehari
menanti janji menjadi bukti
bergema bagai lolong malam di lorong gelap negeri
satu kilo beras tak lagi mampu di bawa pulang
Masa depan anak mereka dipertanyakan
menggantung bagai mimpi tanpa tali tak pasti
sekolah tak lagi menjadi jendela harap
tertutup tangis ibu pertiwi tak terdengar
menyaksikan pabrik menyisakan lara
Kami yang kini di jalanan,
bendera tetap kami jaga dan akan terus berkibar
menyuarakan: "Upah layak, lindungi kami"
tak lagi peduli geramnya dunia menggertak,
kami buruh Indonesia tak akan menyerah
Baca juga:Â Perpisahan dan Wisuda Sekolah: Bukan Sekadar Gaun dan Panggung Mewah
@senimelipatluka, 1 Mei 2025
Tulisan ke-27Â Tahun 2025
#Puisi ke 20Â Tahun 2025
#Artikel ke-7 Tahun 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI