Yunus sedikit berdehem. "Saya tahu saya harus jujur di depan polisi. Sekitar lima puluh juta, pak. Saya berencana untuk melunasinya tahun depan."
Tepat ketika itu Mahmud masuk dan membawa senjata pembunuh berupa pisau, terbungkus dalam plastik sachet. Ia memberi keterangan kepadaku.
"Ada dua macam sidik jari di pisau ini, Kilesa. Roger Yamin, dan satu lagi bernama Yunus Gandawijaya. Dari data kepolisian, itu yang kudapat..."
Aku menghentikan ucapan Mahmud dengan menunjuk Yunus. Ia pun tergagap dan mulai panik. "Tentu, tentu saja. Itu adalah pisau milikku, pak polisi. Itu pisauku. Aku sudah mencarinya sedari malam kemarin. Di mana bapak menemukan pisau itu?"
"Tenangkan dirimu, Yunus. Untuk apa pisau ini? Mengapa pisau ini bisa berada di TKP?"
"TKP? Untuk memotong kabel, pak. Untuk memberikan penerangan di kandang kelinci. Aku tidak tahu mengapa bisa hilang. Aku tidak tahu mengapa pisau itu bisa ada di TKP."
Memotong kabel? Bukankah villa ini villa sewaan? Sudah jelas -- jelas ia berbohong. Semua bukti mengarah padanya. Baiklah, saatnya mengambil keputusan. Aku memberikan isyarat kepada Mahmud. Ia langsung paham. Mahmud merangkul Yunus dari belakang.
"Pisau itu berada di leher Roger, Yunus. Itulah senjata pembunuhnya. Semua bukti mengarah padamu. Maka kau akan diinterogasi lebih lanjut. Kami belum ingin membawamu ke kantor polisi. Tim investigasi akan datang secepatnya. Sekarang, kau akan diperiksa oleh rekanku. Panggilkan Johnson, Mahmud. Biar ia yang memeriksa orang ini lebih dalam."
Mahmud mengangguk dan membawa Yunus ke ruangan sebelah yang lebih kecil dan tertutup, diselingi dengan bantahan dari Yunus dan ketidakpedulian dari kami para polisi. Namun setelah mengamankan Yunus, Mahmud kembali padaku. Nampaknya ia menyadari ada sesuatu yang aneh.
"Jika ia memang pembunuhnya, kau tidak akan memeriksanya lebih lanjut, Kilesa. Kau akan langsung memerintahkannya untuk dibawa ke kantor polisi. Kau belum yakin. Ada yang masih mengganjal?"
Aku mengangguk. Aku berjalan keluar rumah putih, diikuti oleh Mahmud. "Kelinci sadis itu, Mahmud. Itulah yang aneh."