"Mengapa ayahmu, Pak Roger Yamin, ditinggalkan sendiri sementara kalian bertamasya keluar?"
Andrileka menggeleng, "Ia seharusnya ikut, pak polisi, ia seharusnya ikut. Namun penyakit jantungnya kambuh kembali. Jantung kronis. Maka dia minta untuk beristirahat saja di villa. Jadi kami pun pergi tanpa dia. Tapi..."
"Tapi apa?"
Andrileka kembali mengucurkan air mata. "Ketika sampai di Puncak Arena aku baru sadar bahwa kami tidak sengaja membawa Concor, salah satu obat penting papa. Kami pun buru -- buru balik. Namun ketika di pintu keluar, ada beberapa polisi yang menanyakan mama. Dan mereka memberitahu bahwa papa ternyata..."
Aku mengernyit. "Namun apakah kau tahu bahwa ayahmu tiada bukan karena sakit jantungnya, melainkan karena, maaf, dibunuh?"
Andrileka menarik napas basah. "Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Kami semua tidak tahu. Maka kami semua syok, pak polisi."
"Baiklah. Adakah yang punya dendam pribadi kepada Pak Roger? Tidak suka kepadanya? Saingan bisnis, mungkin?"
"Ada banyak, pak polisi. Papa adalah pebisnis tangguh. Orangnya keras. Namun tidak mungkin sampai ke pembunuhan. Perusahaan papa punya banyak saingan bisnis, dan kami sempat rugi beberapa ratus juta. Tapi tidak mungkin sampai ke tahap membunuh. Sebagai contohnya, om Yunus juga punya bisnis ternak kelinci dan bersaing dengan papa, tapi keluarga itu tetap ikut berlibur bersama kami, bukan? Papa orang keras, tapi juga penyayang keluarga."
Manusia tidak pernah tahu apa yang berada di dalam hati manusia lainnya, teman. Namun ini menarik. "Pak Yunus itu, apakah ia berangkat bersama kalian menuju Puncak Arena?"
"Ya, pak polisi. Kami berangkat dengan dua mobil. Saya, mama, dan adik saya berada di mobil ketika meninggalkan pekarangan, ketika kami menyaksikan om Yunus berbicara dengan papa. Kukira bakal lama, namun ternyata lima menit kemudian mobil om Yunus menyusul kami."
Lima menit cukup untuk melakukan aksi kriminal. "Jadi om Yunus adalah yang terakhir menyaksikan Pak Roger hidup?"