Dalam percakapan sehari-hari, banyak dari kita yang lihai memberikan semangat untuk teman-teman. "Kamu pasti bisa." "Tenang, ini cuma fase." "Jangan keras sama diri sendiri."Â
Kalimat-kalimat ini meluncur begitu alami ketika orang lain bercerita soal beban hidupnya. Tapi, ketika kita sendiri yang terpuruk, mengapa rasanya sulit sekali memberikan penguatan yang sama untuk diri sendiri?
Kenyataan pahitnya, banyak orang lebih mudah bersikap welas asih pada orang lain dibanding pada dirinya sendiri. Kita terbiasa jadi bahu untuk tempat bersandar, tapi tidak tahu bagaimana cara menyandarkan diri sendiri.Â
Ini bukan hanya tentang empati, tapi soal bagaimana kita diprogram oleh budaya, pengalaman masa kecil, hingga tuntutan sosial untuk mendahulukan orang lain, bahkan ketika diri sendiri sedang butuh pertolongan.
Peran sosial yang melelahkan diam-diam
Kita hidup di masyarakat yang memuja ketangguhan. "Kuat itu keren." "Jangan manja." "Kalau kamu ngeluh, terus siapa yang bantu?" Pesan-pesan ini membuat banyak orang merasa perlu terlihat baik-baik saja, bahkan ketika sedang goyah.Â
Akhirnya, memberi semangat ke orang lain menjadi semacam peran sosial yang terus dipertahankan karena itu menunjukkan bahwa kita masih "berguna."
Menjadi pendengar yang baik pun sering dipandang sebagai kelebihan. Tapi apa yang terjadi ketika si pendengar itu sendiri tidak punya ruang untuk bersuara? Banyak dari kita mengalami kelelahan emosional karena terbiasa menyimpan cerita sendiri.
Ketika orang lain sedih, kita jadi penyemangat. Tapi ketika kita yang sedih, kita memilih diam atau berpura-pura sibuk agar tidak merasa lemah. Kita lebih tahu bagaimana menenangkan orang lain dibanding menyembuhkan luka sendiri.
Fenomena ini juga berkaitan erat dengan people-pleasing. Banyak yang merasa bahwa nilai dirinya ada dalam perannya membantu orang lain. Akibatnya, mereka tidak terbiasa menilai emosi pribadi sebagai sesuatu yang penting. Menghibur orang lain menjadi cara untuk merasa berharga, sementara kebutuhan emosional diri sendiri dipinggirkan.