Saya tidak bisa menjelaskan dengan logika mengapa semua itu begitu membekas. Bali seperti memiliki kekuatan spiritual yang menembus hati. Suara gamelan, aroma dupa, dan cahaya sore di pura semuanya menyatu, membuat saya merasa kecil sekaligus diterima. Bali bukan sekadar tempat tinggal sementara, melainkan ruang yang mengajarkan saya untuk mendengar suara hati sendiri.
Pulau ini menjadi saksi bagaimana saya belajar arti dicintai, sekaligus menghadapi rasa sakit. Bali seperti cermin: memperlihatkan siapa diri saya sebenarnya. Saya yang ambisius, saya yang penuh harapan, saya yang terluka, dan saya yang merindukan kehangatan. Semua itu tercermin jelas di sana, seakan Bali tahu seluruh rahasia jiwa saya.
Kadang saya bertanya-tanya, tanpa Bali, akankah saya tetap menjadi saya yang sekarang? Sulit rasanya membayangkan. Terlalu banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan di sana. Mulai dari bekerja keras hingga menyelami makna kebersamaan, semuanya berakar di Pulau Bali.
Ada hari-hari ketika Bali terasa begitu ramah. Pantai Kuta dengan riuhnya, Uluwatu dengan senjanya, hingga pura-pura dengan ketenangannya. Semua itu memberi energi baru, membuat saya merasa ada kekuatan yang terus mendorong saya untuk bertahan.
Namun ada pula hari-hari ketika Bali terasa dingin dan asing. Saat persaingan kerja membuat saya terasing, meski di tengah keramaian. Tapi justru dalam kesepian itu, Bali seperti ibu yang mendengarkan, menampung air mata saya tanpa menghakimi. Ia membiarkan saya menangis sepuasnya, lalu memberi angin laut sebagai pelukan diam-diam.
Kenangan-kenangan itu begitu kuat hingga sering kali saya merasa waktu berhenti. Sekadar mendengar musik Bali atau melihat foto pura sudah cukup untuk membuat hati saya basah. Rasanya seperti ada bagian dari diri saya yang masih tertinggal di sana, enggan kembali meski tubuh saya sudah jauh.
Bali bukan sekadar pulau, melainkan simbol dalam hidup saya. Ia mewakili perjuangan, cinta, luka, dan kebahagiaan. Semua bercampur, menciptakan mozaik kenangan yang tidak mungkin saya hapus. Bahkan jika saya mencoba mengabaikannya, Bali selalu menemukan cara untuk kembali hadir.
Saya merasa Bali sudah menjadi bagian dari diri saya. Ia bukan lagi sekadar lokasi geografis, melainkan ruang batin yang permanen. Setiap kali saya mengingatnya, seolah saya kembali pulang. Pulang ke tempat di mana hati saya pernah tumbuh, jatuh, lalu bangkit lagi.
Dan di balik semua itu, ada pelajaran hidup yang sulit dilupakan. Bahwa hidup tidak selalu tentang kemenangan. Ada saat-saat kita harus belajar menerima luka, menelan ketidakadilan, dan tetap berjalan. Bali mengajarkan saya arti ketangguhan, bukan sebagai pekerja, tetapi sebagai manusia.
Saya tahu, seumur hidup saya tidak akan pernah benar-benar bisa melupakan Bali. Setiap senyum, setiap jalan, setiap tetes hujan di atas motor, semuanya telah menulis dirinya sendiri dalam buku hidup saya. Bali adalah bab yang tidak akan pernah selesai.
Kini, ketika saya menutup mata, bayangan senja di atas laut Bali selalu muncul. Langit berwarna jingga, ombak berkejaran, dan angin laut membisikkan kata-kata yang tidak pernah bisa saya terjemahkan. Saya berdiri di sana, dengan hati penuh kenangan, membawa syukur sekaligus rindu yang tak pernah padam.