Ia bukan cahaya yang menyilaukan, tapi cahaya yang menuntun. Kerendahan hatinya adalah mahkota tak kasat mata, membuatnya tampil anggun tanpa perlu menonjolkan diri. Ia adalah ratu tanpa istana, pemimpin tanpa mahkota, yang justru dihormati karena kebeningan jiwanya.
Dalam tawanya, tersimpan kekuatan. Dalam matanya, tergambar mimpi besar. Dan dalam pelukannya, ada rumah yang tak semua orang bisa miliki.
Ia tidak dilahirkan kuat---ia memilih untuk menjadi kuat. Ia menciptakan sinarnya sendiri. Dan di dunia yang sering menuntut orang untuk berubah, ia tetap menjadi dirinya sendiri.
Justru karena itulah, ia akan selalu dikenang.
Ia adalah keteguhan dalam kelembutan,
dan kehangatan dalam keberanian.
Ia adalah rumah bagi hati yang tahu cara pulang.
Dan semoga kali ini aku benar-benar diberi kesempatan untuk mencintainya tanpa henti, dengan sepenuh hati, tanpa jeda, tanpa alasan untuk menyerah. Bukan sekadar cinta yang singgah lalu pergi, melainkan cinta yang berakar, tumbuh, dan tetap hidup hingga napas terakhir. Jika hidup adalah perjalanan penuh badai dan cahaya, maka biarlah aku menjalaninya bersamanya---hingga akhirnya, aku bisa berkata dengan tenang: aku telah mencintainya sampai mati.
Aku pernah hancur di tengah badai,
pernah hilang dalam gelap yang sepi.
Namun kini, di hadapannya,
aku menemukan cahaya baru---
cinta yang lahir bukan dari luka,
melainkan dari harapan yang tak pernah mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI