Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengobati Kesehatan Mental yang Maunya Sembuh tapi Kok Susah, Gini Amat Ya?

24 Juli 2025   07:28 Diperbarui: 27 Juli 2025   07:53 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Susah banget mau cari obat mental di Indonesia (Sumber: Unsplash)

"Susah banget ya, mau cari obat hati di Indonesia, antara stigma, lokasi yang jauh, dan biaya yang bikin dompet menjerit, kok gini amat sih?"

Pernah merasa hati gundah gulana, pikiran ruwet tak karuan, tapi bingung mau cerita ke mana? Atau mungkin, sudah berani mengumpulkan niat untuk mencari bantuan profesional, tapi rasanya jalan menuju 'kesembuhan' itu jauh dan penuh rintangan? Kita di negeri yang konon katanya ramah dan gotong royong ini, ternyata masih punya PR besar soal urusan hati dan jiwa.

Bukan cuma soal dana, lho. Ada tiga jurus jitu yang bikin banyak saudara kita terpaksa menelan pil pahit sendiri saat berhadapan dengan masalah kesehatan mental. Apa saja itu? Yuk, kita bedah satu per satu.

Stigma: Ketika 'Malu' Lebih Menakutkan dari 'Sakit'

Coba bayangkan. Sudah berani jujur ke diri sendiri kalau lagi tidak baik-baik saja, eh tapi begitu mau melangkah, langsung kebayang omongan tetangga atau pandangan aneh dari keluarga. Betapa seringnya kita mendengar celetukan "ah, cuma kurang iman," atau "lebay ah, kurang piknik kali." Alhasil, niat baik untuk mencari pertolongan profesional pun ciut di tengah jalan. Ini dia yang namanya stigma, teman-teman. Sebuah tembok tak kasat mata yang kokoh banget.

Stigma ini bukan cuma ada di luaran sana, lho. Kadang, stigma juga tumbuh subur di lingkungan paling dekat, bahkan di dalam keluarga sendiri. Mengacu pada penelitian dari UNAIR, orang dengan gangguan jiwa sering disembunyikan dan diisolasi oleh keluarganya karena rasa malu. Akibatnya, mereka terpaksa hidup dalam penderitaan dan seringkali kondisi mereka memburuk karena tidak mendapatkan penanganan yang tepat. Mereka takut dicap "gila" atau merasa diri mereka aib. Ini tentu bikin langkah makin berat.

Ironisnya, saat stigma ini begitu kuat, banyak yang malah memilih jalan lain. Bukan ke psikolog atau psikiater, tapi mencari pengobatan non-medis yang kadang jauh dari ilmiah, bahkan berujung pada praktik-praktik berbahaya seperti pemasungan. 

Dilansir dari Jurnal Prepotif Universitas Pahlawan, dampak stigma ini begitu luas, sampai berpotensi meningkatkan isolasi sosial dan diskriminasi. Jadi, bukan cuma soal sakitnya, tapi juga hidup sosialnya ikut tergerus. Padahal masalah kesehatan mental itu sama seperti sakit fisik, butuh diobati.

Baca juga: Kesehatan Mental Gen Z dan Milenial, Suka Baperan atau Memang Sudah Gawat Darurat?

Akses: Jauh di Mata, Susah di Dekap Jua

Oke, anggaplah kita sudah berani melawan stigma. Lalu, masalah berikutnya muncul: ke mana kita harus pergi? Apalagi kalau tinggalnya di pelosok negeri, jauh dari gemerlap kota besar. Layanan psikolog atau psikiater itu ibarat barang langka, alias susah banget ditemui. Ibarat nyari jarum di tumpukan jerami, deh.

Mengutip dari pernyataan psikolog Universitas Gadjah Mada, sistem kesehatan jiwa di Indonesia ini memang belum merata. Jumlah psikolog dan psikiater itu ibarat gula yang tumpah di satu tempat saja, yaitu di kota-kota besar. Coba bayangkan, di beberapa kabupaten, bahkan tidak ada satu pun psikolog di Puskesmas. Padahal, Puskesmas ini kan garda terdepan pelayanan kesehatan. Kalau di sana saja belum lengkap, bagaimana masyarakat di pelosok bisa dapat akses?

Dilansir dari KPIN (Komunitas Peduli Indonesia Neuroscience), minimnya tenaga medis, fasilitas, dan akses layanan yang mahal menjadi beberapa faktor penghambat. Jangankan sampai ke psikolog atau psikiater, kadang untuk menjangkau Puskesmas terdekat saja sudah perlu perjuangan ekstra dan biaya transportasi yang tidak sedikit. Lalu, kalaupun ada, belum tentu Puskesmasnya mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara optimal. Jadi, sudah jauh, susah, dan belum tentu pas. Duh!

Biaya: Dompet Tipis, Hati Semakin Merana

Nah, ini dia nih, jurus penghalang terakhir yang tidak kalah jahat. Setelah berani melawan stigma, sudah berhasil menemukan tempat, eh begitu tahu biayanya, dompet langsung menjerit. Apalagi kalau kantong lagi tipis, atau kita tidak punya BPJS Kesehatan atau asuransi lain. Rasanya kayak mau pingsan deh.

Coba kita intip, ya. Menurut perkiraan yang dikutip dari Liputan6.com, biaya konsultasi ke psikolog di Indonesia itu bisa bervariasi, mulai dari Rp250.000 sampai Rp700.000 per sesi di klinik umum. Bahkan, di rumah sakit bisa lebih mahal lagi, sampai Rp1.000.000! Bayangkan, itu untuk satu kali sesi saja, lho. Sementara, untuk penanganan masalah mental, seringkali dibutuhkan beberapa sesi bahkan terapi jangka panjang.

Bagi sebagian besar masyarakat kita, angka segitu bukan uang sedikit. Jadi, ya sudahlah, niat baik untuk menyembuhkan hati terpaksa ditunda dulu sampai dompet tidak lagi menjerit. Ini terutama jadi PR besar buat kaum muda. Mereka mungkin sadar butuh bantuan, tapi biaya ini sering jadi tembok tebal yang susah ditembus. Padahal, mereka adalah generasi penerus bangsa, yang seharusnya punya mental baja dan pikiran sehat.

Tiga Serangkai Penghalang, Bukan Mitos tapi Realita Pahit

Jadi, kalau kita rangkum, masalah kesehatan mental di Indonesia ini seperti dihadapkan pada tiga tembok besar yang saling menguatkan. Stigma bikin orang takut dan malu untuk mencari bantuan. Kalaupun sudah berani, akses layanan yang tidak merata bikin mereka harus muter-muter, bahkan ke luar kota. Eh, begitu sampai, biaya yang mahal bikin mereka gigit jari dan terpaksa balik kanan.

Ini bukan sekadar cerita belaka, tapi realita pahit yang dihadapi banyak saudara kita. Akibatnya, banyak kasus kesehatan mental yang tidak tertangani dengan baik, terlambat diobati, bahkan memburuk hingga menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Lingkaran setan ini terus berputar, membuat banyak penderita hidup dalam penderitaan dan kesunyian.

Harapan di Tengah Tantangan, Bisakah Kita Berbuat Sesuatu?

Meski tantangannya besar, bukan berarti kita harus menyerah, kan? Justru ini jadi panggilan untuk kita semua. Mulai dari hal kecil, seperti berhenti melabeli orang dengan gangguan jiwa, belajar berempati, dan menyebarkan informasi yang benar tentang kesehatan mental. Ini bukan lagi soal kamu atau mereka, tapi tentang kita sebagai satu bangsa.

Pemerintah juga punya peran besar untuk meratakan akses layanan kesehatan mental, memastikan Puskesmas bisa jadi garda terdepan yang benar-benar siap, dan mencari cara agar biaya tidak lagi jadi penghalang. Kesehatan mental itu investasi masa depan. Kalau jiwa sehat, pikiran tenang, pasti kita semua bisa lebih produktif dan bahagia. Semoga saja, tembok-tembok penghalang itu perlahan bisa kita robohkan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun