Dilansir dari KPIN (Komunitas Peduli Indonesia Neuroscience), minimnya tenaga medis, fasilitas, dan akses layanan yang mahal menjadi beberapa faktor penghambat. Jangankan sampai ke psikolog atau psikiater, kadang untuk menjangkau Puskesmas terdekat saja sudah perlu perjuangan ekstra dan biaya transportasi yang tidak sedikit. Lalu, kalaupun ada, belum tentu Puskesmasnya mampu memberikan pelayanan kesehatan jiwa secara optimal. Jadi, sudah jauh, susah, dan belum tentu pas. Duh!
Biaya: Dompet Tipis, Hati Semakin Merana
Nah, ini dia nih, jurus penghalang terakhir yang tidak kalah jahat. Setelah berani melawan stigma, sudah berhasil menemukan tempat, eh begitu tahu biayanya, dompet langsung menjerit. Apalagi kalau kantong lagi tipis, atau kita tidak punya BPJS Kesehatan atau asuransi lain. Rasanya kayak mau pingsan deh.
Coba kita intip, ya. Menurut perkiraan yang dikutip dari Liputan6.com, biaya konsultasi ke psikolog di Indonesia itu bisa bervariasi, mulai dari Rp250.000 sampai Rp700.000 per sesi di klinik umum. Bahkan, di rumah sakit bisa lebih mahal lagi, sampai Rp1.000.000! Bayangkan, itu untuk satu kali sesi saja, lho. Sementara, untuk penanganan masalah mental, seringkali dibutuhkan beberapa sesi bahkan terapi jangka panjang.
Bagi sebagian besar masyarakat kita, angka segitu bukan uang sedikit. Jadi, ya sudahlah, niat baik untuk menyembuhkan hati terpaksa ditunda dulu sampai dompet tidak lagi menjerit. Ini terutama jadi PR besar buat kaum muda. Mereka mungkin sadar butuh bantuan, tapi biaya ini sering jadi tembok tebal yang susah ditembus. Padahal, mereka adalah generasi penerus bangsa, yang seharusnya punya mental baja dan pikiran sehat.
Tiga Serangkai Penghalang, Bukan Mitos tapi Realita Pahit
Jadi, kalau kita rangkum, masalah kesehatan mental di Indonesia ini seperti dihadapkan pada tiga tembok besar yang saling menguatkan. Stigma bikin orang takut dan malu untuk mencari bantuan. Kalaupun sudah berani, akses layanan yang tidak merata bikin mereka harus muter-muter, bahkan ke luar kota. Eh, begitu sampai, biaya yang mahal bikin mereka gigit jari dan terpaksa balik kanan.
Ini bukan sekadar cerita belaka, tapi realita pahit yang dihadapi banyak saudara kita. Akibatnya, banyak kasus kesehatan mental yang tidak tertangani dengan baik, terlambat diobati, bahkan memburuk hingga menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Lingkaran setan ini terus berputar, membuat banyak penderita hidup dalam penderitaan dan kesunyian.
Harapan di Tengah Tantangan, Bisakah Kita Berbuat Sesuatu?
Meski tantangannya besar, bukan berarti kita harus menyerah, kan? Justru ini jadi panggilan untuk kita semua. Mulai dari hal kecil, seperti berhenti melabeli orang dengan gangguan jiwa, belajar berempati, dan menyebarkan informasi yang benar tentang kesehatan mental. Ini bukan lagi soal kamu atau mereka, tapi tentang kita sebagai satu bangsa.
Pemerintah juga punya peran besar untuk meratakan akses layanan kesehatan mental, memastikan Puskesmas bisa jadi garda terdepan yang benar-benar siap, dan mencari cara agar biaya tidak lagi jadi penghalang. Kesehatan mental itu investasi masa depan. Kalau jiwa sehat, pikiran tenang, pasti kita semua bisa lebih produktif dan bahagia. Semoga saja, tembok-tembok penghalang itu perlahan bisa kita robohkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI