"Di dalam lorong itu, Edo mencari jalan keluar—tanpa menyadari bahwa ia mungkin tak pernah benar-benar masuk."
Langit di luar jendela kamar Edo berwarna abu-abu kusam, seolah waktu di rumah sakit ini hanya mengenal senja yang enggan beranjak. Ia sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali melihat matahari benar-benar bersinar di langit, atau merasakan angin yang datang tanpa sekat kaca di hadapannya. Di tempat ini, hari-hari berlalu dalam siklus yang sama—obat-obatan yang diberikan dengan takaran pasti, sesi terapi yang membahas hal yang sama, dan makan malam dengan rasa yang tak pernah berubah.
Edo seharusnya merasa lebih baik. Itulah yang dikatakan para perawat, dengan senyum yang terasa terlalu dibuat-buat. "Pemulihan memerlukan waktu," kata mereka, suaranya lembut tetapi kosong.
Namun, sesuatu terasa salah.
Ia sering terbangun di tengah malam dengan keringat dingin membasahi tengkuknya. Setiap kali ia tidur, ia kembali ke tempat itu—lorong panjang yang gelap, hanya diterangi oleh lampu redup yang berkedip-kedip. Di kedua sisi, berjejer pintu-pintu kayu dengan gagang besi yang dingin di tangannya. Ia mencoba membukanya satu per satu, tetapi tidak ada yang bisa bergerak.
Ia berjalan, langkahnya bergema di lantai yang terasa terlalu keras. Lorong ini seolah tak berujung, seperti melingkar kembali ke tempat awal tanpa ia sadari.
Dan yang lebih aneh, ia tahu betul lorong ini.
Tidak dalam ingatannya yang sadar, tetapi dalam sesuatu yang lebih dalam dari itu—sebuah kenangan yang samar, terbungkus kabut tipis di sudut pikirannya.
Suatu malam, ia mencoba tetap terjaga. Ia menatap ke luar jendela, berharap melihat sesuatu yang bisa memberinya rasa nyata, sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dunia ini masih bekerja sebagaimana mestinya. Tetapi yang ia lihat hanyalah pantulan dirinya sendiri di kaca, dengan mata yang semakin kosong dari hari ke hari.
Ketika akhirnya ia terlelap, mimpi itu datang lagi.