Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Azis dan BCL

26 Februari 2025   09:10 Diperbarui: 10 Maret 2025   00:35 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani kakao (Sumber: Meta AI)

"Di tengah harapan yang tumbuh, Azis harus menghadapi kenyataan pahit—tanpa pupuk, tanpa insektisida, dan kini, tanpa bensin untuk pulang."

Matahari menggantung rendah di langit Labuah Gunuang. Embun pagi yang tadi menyelimuti dedaunan kini menguap, meninggalkan kelembaban yang melekat pada batang-batang kakao. Azis menghela napas panjang, tangannya yang kasar mengusap keringat di lehernya. Dari pagi ia telah bekerja, memangkas ranting-ranting tua, mengumpulkan buah yang masih bisa diselamatkan dari serangan hama. Namun, hasilnya tetap sama—sedikit, terlalu sedikit.

Ia menjatuhkan tubuhnya di bawah naungan pohon kakao tertua di kebunnya. Pohon itu ia panggil BCL, nama yang dulu ia berikan tanpa alasan khusus. Mungkin karena ia menyayanginya seperti seorang kekasih, seperti seorang sahabat yang setia berdiri meski musim berganti.

"Apa kau juga lelah, BCL?" tanyanya, memandangi batang pohon yang mulai menua. "Dulu kau selalu memberiku banyak buah. Sekarang, lihat dirimu. Kurus, daunnya pun tak setegar dulu."

Angin berdesir, dedaunan saling bergesekan, menciptakan suara lirih seperti bisikan. Azis mendengar sesuatu. Sebuah suara yang tak seharusnya ada.

"Jangan salahkan aku," suara itu muncul begitu saja, seakan berasal dari dalam batang pohon itu sendiri.

Azis terdiam. Matanya menyapu sekeliling, memastikan tak ada orang lain di kebun itu. Ia menelan ludah. "Apa... kau berbicara padaku, BCL?"

"Tentu saja," jawab suara itu lagi, nadanya datar, seolah enggan berbasa-basi. "Kau ingin tahu kenapa buahku berkurang? Karena kau jarang memberiku makan. Masak setahun cuma sekali? Itu pun sedikit dan tak enak pula!"

Azis mengernyit, berusaha menata pikirannya. Ini tidak masuk akal. Namun, entah bagaimana, kata-kata BCL terdengar masuk akal. Ia mengingat kembali—memang benar, pupuk yang ia berikan sangat sedikit. Pupuk subsidi langka, dan kalaupun ada, petani padi selalu lebih diutamakan.

"Aku mau memberimu lebih banyak pupuk, BCL," kata Azis pelan. "Tapi dari mana? Pupuk mahal, pupuk subsidi tak cukup."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun