Ekspedisi Pertama
Di pendapa istana Demak, pagi itu udara terasa berat, seolah ikut menyimpan rahasia yang sebentar lagi akan diucapkan Sultan. Para adipati, senopati, dan utusan dari daerah berkumpul dalam lingkaran. Semua menanti siapa yang akan menerima amanat baru.
Sultan Trenggana, dengan wajah yang tenang namun sorot mata tajam, memandang satu per satu hadirin. Lalu suaranya menggema, jernih seperti gamelan yang dipukul perlahan, namun menghunjam hingga dada.
"Raden Harya Tingkir," ucapnya sambil menoleh ke arah Karebet yang berdiri di barisan belakang. "Mulai hari ini engkau kuangkat menjadi Senopati Muda. Kau akan memimpin sepasukan prajurit menuju timur. Bukan hanya menguji keberanianmu di medan laga, melainkan juga kebijaksanaanmu menjaga keseimbangan antara pedang dan kata-kata. Daerah Panarukan belum sepenuhnya tunduk. Sebagian hatinya masih condong pada pengaruh luar. Engkau yang harus mengikatnya pada Demak."
Sejenak ruangan terdiam. Mata semua tertuju pada Karebet.
Ada yang menyambut dengan senyum setengah mengejek. Seorang adipati tua berbisik pada rekannya, "Anak muda ini baru saja diuji dalam gelanggang, kini sudah diminta memimpin. Apakah tak terlalu cepat, Sultan?"
Ada pula yang diam, namun matanya menyimpan bara dengki. Mereka tahu, kasih sayang Sultan pada Karebet kian nyata. Semakin ia menapak naik, semakin besar pula bayangan iri yang membuntutinya.
Karebet sendiri menunduk, memberi sembah. "Hamba junjung titah Paduka. Dengan segenap jiwa dan raga, hamba akan menjaga panji Demak."
Malam itu, di barak prajurit, Karebet tidak memilih duduk di kursi tinggi yang disediakan untuk pemimpin. Ia berjalan di antara prajurit, duduk di tanah, makan seadanya dari wadah yang sama.
"Besok kita berangkat," katanya sambil tersenyum. "Aku ingin kalian tahu, aku bukan pemimpin yang duduk di atas singgasana. Aku berjalan bersama kalian. Jika kita lapar, kita lapar bersama. Jika kita haus, kita berbagi air seteguk."