Dari Si Kuncung ke 5 Benua: Jejak Membaca, Jejak Menulis
Saya tidak tahu kapan tepatnya saya jatuh cinta pada kata-kata. Yang saya tahu, sejak kecil, membaca adalah kebiasaan yang tumbuh liar tapi setia. Bahkan ketika belum sekolah pun saya sudah pandai membaca, demikian cerita sosok yang lebih tua.
Saya pertama kali mengenal cerita lewat Si Kuncung, majalah anak bergambar penuh cerita. Lalu datang Bobo, yang setiap minggunya membawa dongeng, komik, dan teka-teki---dari Bona sampai Paman Kikuk. Masa kecil saya adalah masa majalah. Saya tumbuh di antara halaman-halaman itulah, menyerap cerita seperti udara. Ketika remaja, saya mulai melirik majalah Gadis---karena cerpen dan kisah-kisah remajanya, bukan rubrik fashion-nya. Di situlah saya mulai merasa: cerita bisa datang dari kehidupan sehari-hari.
Dan jangan lupakan komik---Godam, Mandala, Si Buta Dari Gua Hantu, karya Ganes TH---tokoh-tokoh pahlawan Indonesia yang memerangi kejahatan dengan tangan kosong dan hati besar. Mereka mungkin tidak ada di film, tapi di imajinasi saya mereka hidup. Mereka adalah guru pertama saya dalam memahami konflik dan keberanian.
Membaca adalah Gerbang Imajinasi
Saya kemudian membaca Kho Ping Hoo dan kisah silat panjang yang mengajarkan kehormatan dan intrik. Lalu Intisari dan Reader's Digest, yang membuat saya mengagumi cerita dari berbagai belahan dunia. Saya belajar bahasa Inggris lewat tebak-tebakan kosakata, memahami dunia melalui ringkasan artikel.
Ketika menemukan Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Doyle, saya mulai mencintai struktur misteri.
Dan ketika saya membaca Pramoedya, NH Dini, dan Motinggo Busye, saya tahu: menulis bukan hanya hiburan. Ia bisa menjadi perlawanan, catatan sejarah, dan pelipur hati.
Dari semua bacaan itu, tumbuh satu keinginan sunyi: saya ingin menulis juga.
Dunia Penerbangan, Dunia yang Membuka Pintu
Saya memulai karier bukan sebagai penulis, bukan pula dosen. Saya bekerja di dunia penerbangan. Dunia yang mengajarkan disiplin, kecepatan, dan berpindah tempat tanpa terlalu banyak bicara. Tapi dari sanalah, justru saya menumbuhkan hobi yang telah lama tumbuh diam-diam: jalan-jalan.
Setiap kali ada kesempatan, saya melancong. Dari bandara ke bandara, saya menyusuri kota dan negeri yang tak saya kenal. Dan di setiap perjalanan itu, saya menulis catatan. Bukan untuk siapa-siapa, hanya agar saya tidak lupa. Tapi lama-lama, catatan itu terasa seperti potongan cerita yang menuntut ditulis dengan utuh.
Menulis yang Jadi Serius
Saya mulai menulis di Kompasiana, dengan nama pena Taufikuieks. Dari artikel perjalanan itu, saya kumpulkan tulisan-tulisan menjadi buku pertama:
Mengembara ke Masjid-Masjid di Pelosok Dunia, diterbitkan oleh Peniti Media. Lalu tumbuh menjadi karya yang lebih luas: 1001 Masjid di 5 Benua, diterbitkan oleh Mizan.
Saya menulis tentang masjid-masjid dari Wellington sampai Washington, dari Athena hingga Zanzibar. Masjid-masjid kecil di lorong sempit, hingga masjid megah bersejarah. Bagi saya, masjid bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah jendela budaya, saksi sejarah, dan ruang perjumpaan antarbangsa.
Makam, Uni Soviet, dan Tango
Lalu datang buku Tamasya ke Masa Depan, dua jilid perjalanan menelusuri makam tokoh-tokoh dunia---dari Lenin sampai Napoleon, dari kuburan pekiir di Wina sampai nisan sunyi di Ngorongoro. Saya menulis dengan tenang, karena setiap makam punya suara yang hanya terdengar jika kita datang dengan hening.
Kemudian saya menulis trilogi Menembus Tirai Besi, perjalanan ke negara-negara bekas Uni Soviet: Latvia, Tatarstan, Belarus, Armenia. Saya menjumpai peninggalan komunis berdampingan dengan semangat Islam yang bangkit kembali. Di masjid-masjid tua yang dulu disita pemerintah, saya bertemu dengan orang-orang yang diam-diam menjaga nyala.
Lalu datang Sombrero, Diablo Rojo & Tango---tentang perjalanan ke Panama, Meksiko, Argentina. Dari bus penuh grafiti bernama Diablo Rojo, piramida di Meksiko, sampai irama tango di Buenos Aires. Amerika Latin memberi saya warna baru---penuh gairah, bising, dan jujur.