Langit mulai mengabur di atas Vila Sintra saat langkahku perlahan menjauh dari pusat sejarah. Gerimis yang sedari tadi menggoda, kini benar-benar turun dalam gerakan-gerakan kecil, membasahi batu-batu calada Portuguesa yang menjadi lantai kota tua ini. Sembari menunggu bus 434 yang akan membawaku kembali ke stasiun, aku bersandar di dinding dingin dan sempat menoleh ke jalan utama. Di sana, sesuatu yang tak biasa melintas: sebuah bajaj putih.
Ya, bajaj. Tapi versi Eropa---ramping, bersih, beratap plastik transparan, dan tak berisik. Rasanya seperti melihat potongan Jakarta atau India yang tersesat di Portugal, walau tampilannya jauh lebih 'turis' dan manis. Bajaj itu berhenti sejenak, seorang lelaki berbicara dengan sopirnya sebelum penumpang lainnya masuk dan kendaraan itu meluncur pergi ke arah lembah. Sungguh dunia ini kadang membentuk ironi kecil yang menggemaskan. Menurut informasi kendaraan ini lebih dikenal dengan bana Tuk-tuk elektronik.
Bus 434 akhirnya datang, dan dengan setengah lelah, saya naik dan kembali duduk menghadap jendela. Jalanan menurun menuju stasiun Sintra terasa lebih sepi dibanding pagi tadi. Mungkin karena turis sudah banyak yang kembali, atau karena hujan yang membungkus kota ini dalam diam. Saya memeluk tas kecilku erat-erat---di dalamnya hanya ada air mineral yang selalu menemani.
Bus berhenti tak jauh dari bangunan stasiun yang berdiri anggun dengan dinding bercorak bata merah-putih. Ubin azulejo berpola rumit menghiasi temboknya, seolah menyambut setiap pelancong yang datang dan pergi dengan ukiran keramahan. Atap bergaya industrial menjorok ke luar, memberi tempat berteduh bagi mereka yang menunggu waktu, atau sekadar ingin memeluk bayangan sebelum kereta datang. Di depan pintunya, dua orang berdiri sebentar, lalu masuk ke dalam dengan langkah tenang.
Sejenak saya pandangi san nikmati keindahan bangunan Stasiun Sintra. Bangunan tua yang khas dengan dinding berhias azulejo dan lengkungan bata merah-putih di jendela-jendelanya---sebuah perpaduan arsitektur yang tak hanya fungsional, tapi juga artistik. Gedung ini selalu tampak seperti gerbang waktu: dari dongeng istana dan bukit berkabut, kita dibawa kembali ke rel dan mesin yang berderak menuju kota.
Saya melihat ke jadwal keberangkatan kereta ke Lisboa. Masih ada cukup waktu. Di seberang jalan, tampak sebuah kafe mungil yang masih buka. Jendela kacanya memancarkan cahaya kuning yang menghangatkan. Saya menyeberang pelan dan masuk.
Kafe itu wangi. Wangi kopi segar dan pastel de nata yang baru keluar dari oven. Saya memesan secangkir espresso dan satu potong kue khas Portugal---kali ini bukan pastel de nata, tapi bola de Berlim, kue manis berisi krim kuning yang tak kalah populer. Meja di dekat jendela kosong. Duduk di sana, saya memandang keluar: stasiun tua dengan ubin-ubin keramik yang masih utuh, lalu lalang pelan orang-orang, dan sesekali suara lonceng kereta yang datang dari arah selatan.
Waktu perlahan bergerak, dan sore menjelma senja. Saya menyeruput kopi terakhir, membayar d, lalu berjalan kembali ke stasiun. Di dalam, suasana mulai ramai. Kereta menuju Lisboa akhirnya tiba. Saya nain ke gerbong tengah dan duduk di sisi jendela. Kereta mulai bergerak perlahan dan makin lama makin cepat. Lampu-lampu jalan mulai menyala, satu per satu, saat kereta mulai bergerak meninggalkan Sintra.