Hujan baru saja reda di ketinggian Sintra. Titik-titik air masih menetes dari gargoyle batu dan pinggiran jendela menara Palcio Nacional da Pena. Istana itu berdiri bagai mimpi yang belum tuntas ditulis. Saya berdiri sejenak di pelataran, memandang ke bawah --- ke kabut yang mulai terangkat, menyingkap atap merah tanah dan pucuk-pucuk pohon pinus yang kini kehijauan kembali.
Perjalanan hari ini belum selesai. Langit mengisyaratkan waktu telah menua, namun kaki saya masih menyimpan langkah untuk kisah lain di jantung kota. Saya menyusuri lorong keluar dari Pena dan kembali ke halte bus hop-on hop-off 434. Bus itu, yang sempat saya tumpangi pagi tadi menanjak ke puncak dongeng, kini membawaku turun --- ke realita yang tak kalah ajaib, ke Vila Sintra.
Bus berguncang pelan menyusuri jalan yang sempit dan berliku, berpapasan dengan mobil kecil dan pepohonan liar yang menyeruak dari tebing. Di balik kaca jendela yang mulai mengembun, saya melihat sisa embun menari di rerumputan, dan rumah-rumah kecil mencuat seperti coretan arsitek yang terlalu romantis untuk zaman ini. Sintra, dalam segala keanehan dan keanggunannya, terasa seperti puisi yang dilahirkan dari mimpi buruk seorang raja yang terlalu banyak membaca dongeng.
Beberapa menit kemudian, bus berhenti di halte dekat pusat Vila Sintra. Saya turun --- bersisian dengan turis lain yang membawa payung, kamera, dan kantong-kantong belanja kecil berisi cokelat lokal atau magnet kulkas. Udara lebih hangat di sini. Pohon palem berdiri malu-malu di pinggir jalan, dan di hadapan saya, dinding hotel berwarna pastel menyambut dengan tenang: Sintra Boutique Hotel. Di sebelahnya, toko hijau cerah dengan papan-papan promosi menyala menawarkan tur, peta, dan suvenir.
Saya melangkah melewati jembatan batu kecil --- tua dan berlumut, dengan relief lambang bangsawan yang tampaknya telah menyaksikan ratusan kaki melintasinya, dari sepatu rami hingga sepatu hiking kekinian. Tepat di sampingnya, sebuah air mancur bundar mungil berdiri anggun di bawah tembok batu. Airnya memancar lirih dari ceruk sederhana --- suara yang begitu halus, seperti bisikan masa lalu.
Tidak jauh dari sana, segerombolan pengunjung berkumpul di seberang jalan. Saya mendekat dan tertawa kecil saat melihat seekor sapi hitam-putih dari plastik berdiri gagah di trotoar. Ia mengenakan topi dan syal --- maskot toko ALE-HOP, yang menjual barang-barang lucu dan fungsional. Seekor sapi di tengah Sintra, entah kenapa tidak terasa aneh. Kota ini memang selalu menyimpan kejutan kecil seperti teka-teki dalam buku bergambar anak-anak.