Dari arah kanan terdengar denting garpu dan tawa. Sebuah kafe di bawah pohon yang meranggas memanggil-manggil, kursi putihnya tersusun menghadap jalan, menawarkan rehat dan cerita. Namun saya terus berjalan, menanjak sedikit ke arah yang lebih tua dari kota ini.
Langkah kaki menurun ke sebuah pelataran batu yang terbuka lebar, dihimpit bangunan-bangunan bergaya kolonial yang tampak berdandan rapi untuk menyambut sore. Inilah jantung Vila Sintra --- Largo Rainha Dona Amlia, tempat di mana waktu seolah menunda denyutnya, hanya untuk memberi kesempatan pada pengunjung menyerap semua keajaiban yang berserakan.
Dan di sinilah ia berdiri, Palcio Nacional de Sintra --- istana yang tidak menjulang seperti Pena, namun justru mendarat dengan megahnya di tengah kota, menyatu dengan tanah dan sejarah. Dua cerobong asap raksasa menjulang dari atapnya, berbentuk kerucut putih seperti terbalikkan piala es krim raksasa. Kontras sekali dengan langit yang mulai beranjak jingga, dan ubin-ubin merah yang menghiasi atap bangunan lainnya.
Saya berdiri di tengah pelataran, membiarkan mata saya menyusuri jendela-jendela kecil berbingkai kayu, balkon batu yang tergurat usia, dan pintu masuk besar dengan penjaga museum yang bersandar santai. Di belakang saya, tugu batu pelourinho --- tiang keadilan dari masa kerajaan --- berdiri diam, menyaksikan dunia berubah dari abad ke abad, dari raja-raja hingga rombongan wisatawan dengan swafoto di tangan.
Di sisi kiri, sebuah restoran menawarkan menu makan siang dengan papan tulisan besar: "Menu 8 - Bacalhau, Sopa, Sobremesa." Aroma ikan asin yang ditumis dengan bawang dan minyak zaitun menguar dari dapur terbuka. Di sisi kanan, pasangan lanjut usia duduk tenang di bangku, berbagi sepotong pastel de nata, dengan napas pelan yang hanya dimiliki mereka yang telah lama bersama waktu.
Saya beranjak menuju sisi jalan yang lebih sempit, di mana gang-gang batu menuntun saya ke toko anggur kecil bertuliskan "Loja do Vinho", tepat di bawah kantor pariwisata resmi Sintra. Seorang pria paruh baya menyapa dari dalam toko, menawarkan cicipan Port tawar dan olivas asin. Tapi saya menolak dengan senyum, tak ingin waktu tergelincir begitu cepat. Hari telah bergulir ke jam setengah lima, dan saya tahu matahari tak akan lama lagi menyelinap di balik bukit.