Palcio Nacional de Sintra bukan hanya ikon visual dari pusat kota; ia juga penanda sejarah yang panjang dan berlapis. Istana ini telah berdiri sejak era kekuasaan bangsa Moor, dan setelah penaklukan Portugis, bangunan ini berkembang menjadi kediaman musim panas keluarga kerajaan. Arsitekturnya mencerminkan campuran gaya Gothic, Manueline, dan Moorish, yang terus ditambahkan seiring waktu oleh raja-raja berbeda. Dua cerobong asap raksasa yang menjulang itu, selain jadi penanda unik dari kejauhan, adalah bagian dari dapur kerajaan abad ke-14---saksi bisu perjamuan-perjamuan besar dan ritus istana yang pernah menggetarkan Sintra.
Selama berabad-abad, istana ini bukan sekadar tempat tinggal bangsawan, tapi juga pusat pengambilan keputusan penting, pelarian dari wabah di Lisbon, dan bahkan perlindungan bagi raja Joo I kala menghadapi krisis dinasti. Kini, meski telah menjadi museum, setiap ruangnya masih membawa gema masa lalu: ubin azulejo dari abad ke-15, langit-langit ukiran dengan burung-burung eksotik, dan lorong-lorong yang menyimpan bisik-bisik sejarah dalam diam.
Melangkah ke sisi lain Rua Gil Vicente, saya bertemu satu lagi persimpangan cerita. Deretan kafe dan restoran berjajar dengan bangku putih dan taplak meja berpola merah. Di antara mereka, bangunan berwarna biru langit menyita perhatian --- Caf Paris, nama yang menjanjikan romantisme dari benua lain, namun tetap terasa akrab dalam keramaian Sintra.
Orang-orang menyantap makan siang terlambat, menyeruput anggur dan espresso, sesekali tertawa atau memandangi peta dengan ekspresi bingung. Saya melangkah perlahan, menyusuri lorong-lorong sempit yang terasa lebih tenang, hingga akhirnya sampai ke bangunan yang tak seperti yang lain.
Tinggi, modern, dan berani, dengan faade kaca dan tulisan besar --- NewsMuseum.
Bangunan modern ini berdiri seolah mengisyaratkan bahwa di antara semua dongeng, mesti ada tempat untuk fakta. Kaca-kaca tingginya memantulkan langit yang perlahan berubah warna --- dari abu-abu terang menjadi keemasan, lalu perlahan ditelan biru tua.
Di dinding sampingnya, terpampang potret besar wajah-wajah bersejarah: wartawan, penyiar, dan kadang tokoh politik, seakan semuanya menatap lurus ke masa depan yang terus bergerak.
Tapi saya tidak masuk. Waktu telah lewat pukul 16.30, dan museum sudah bersiap menutup pintunya. Namun, berdiri di depannya saja sudah cukup untuk menyadarkan bahwa tempat ini bukan sekadar ruang pamer, melainkan sebuah arsip hidup---tentang bagaimana dunia memberitakan dirinya sendiri. Tentang propaganda, perang informasi, dan kebenaran yang kadang dikemas dalam berbagai rupa.
Dari sudut pandang tertentu, gedung ini tampak menyatu dengan bangunan sekitarnya, tapi jendelanya---yang panjang dan terbuka---menghadap langsung pada dunia, pada zaman. Sebuah metafora yang terlalu jelas untuk diabaikan.
Tak jauh dari museum, seorang anak kecil berlari-lari di atas trotoar berbatu, mengejar burung merpati yang bertengger di atap rumah toko. Ibunya memanggil pelan, sementara seorang lelaki---mungkin ayahnya---memotret dari sisi lain. Di bawah lampu jalan yang mulai menyala satu-satu, kota ini tampak melambat, seolah menanti malam dengan segenap kesabaran tua.
Saya menoleh ke belakang sekali lagi. Palcio Nacional de Sintra masih berdiri, putih dan kokoh, dengan cerobong-cerobong yang kini tak lagi memantulkan cahaya, melainkan menampung sisa warna jingga yang jatuh pelan di permukaannya. Tak banyak orang tersisa di pelataran, hanya beberapa siluet turis yang terburu-buru, dan seorang pengamen tua yang mulai mengemasi gitar dan topinya.
Dunia terasa melunak.
Dan di antara semua langkah yang saya tempuh hari ini---dari kabut Pena yang agung hingga gemerlap lampu Vila yang sederhana---saya merasa seperti baru saja menyusun satu babak utuh dalam novel yang belum rampung. Mungkin bukan akhir, tapi semacam titik koma: tempat bernapas sejenak sebelum lanjut ke halaman berikutnya.