Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Sintra ke Lisboa, Antara Bajaj dan Ayam Panggang

18 Mei 2025   13:09 Diperbarui: 18 Mei 2025   13:09 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit mulai mengabur di atas Vila Sintra saat langkahku perlahan menjauh dari pusat sejarah. Gerimis yang sedari tadi menggoda, kini benar-benar turun dalam gerakan-gerakan kecil, membasahi batu-batu calada Portuguesa yang menjadi lantai kota tua ini. Sembari menunggu bus 434 yang akan membawaku kembali ke stasiun, aku bersandar di dinding dingin dan sempat menoleh ke jalan utama. Di sana, sesuatu yang tak biasa melintas: sebuah bajaj putih.

Bajaj putih: dokpri 
Bajaj putih: dokpri 

Ya, bajaj. Tapi versi Eropa---ramping, bersih, beratap plastik transparan, dan tak berisik. Rasanya seperti melihat potongan Jakarta atau India  yang tersesat di Portugal, walau tampilannya jauh lebih 'turis' dan manis. Bajaj itu berhenti sejenak, seorang lelaki berbicara dengan sopirnya sebelum penumpang lainnya masuk dan kendaraan itu meluncur pergi ke arah lembah. Sungguh dunia ini kadang membentuk ironi kecil yang menggemaskan. Menurut informasi kendaraan ini lebih dikenal dengan bana Tuk-tuk elektronik.

Bus 434: dokpri 
Bus 434: dokpri 

Bus 434 akhirnya datang, dan dengan setengah lelah, saya  naik dan kembali duduk menghadap jendela. Jalanan menurun menuju stasiun Sintra terasa lebih sepi dibanding pagi tadi. Mungkin karena turis sudah banyak yang kembali, atau karena hujan yang membungkus kota ini dalam diam. Saya  memeluk tas kecilku erat-erat---di dalamnya hanya ada air mineral yang selalu menemani.

Estacao Sintra: dokpri 
Estacao Sintra: dokpri 

Bus berhenti tak jauh dari bangunan stasiun yang berdiri anggun dengan dinding bercorak bata merah-putih. Ubin azulejo berpola rumit menghiasi temboknya, seolah menyambut setiap pelancong yang datang dan pergi dengan ukiran keramahan. Atap bergaya industrial menjorok ke luar, memberi tempat berteduh bagi mereka yang menunggu waktu, atau sekadar ingin memeluk bayangan sebelum kereta datang. Di depan pintunya, dua orang berdiri sebentar, lalu masuk ke dalam dengan langkah tenang.

Sejenak saya pandangi san nikmati keindahan bangunan Stasiun Sintra. Bangunan tua yang khas dengan dinding berhias azulejo dan lengkungan bata merah-putih di jendela-jendelanya---sebuah perpaduan arsitektur yang tak hanya fungsional, tapi juga artistik. Gedung ini selalu tampak seperti gerbang waktu: dari dongeng istana dan bukit berkabut, kita dibawa kembali ke rel dan mesin yang berderak menuju kota.

Saya melihat ke jadwal keberangkatan kereta ke Lisboa. Masih ada cukup waktu. Di seberang jalan, tampak sebuah kafe mungil yang masih buka. Jendela kacanya memancarkan cahaya kuning yang menghangatkan. Saya menyeberang pelan dan masuk.
Kafe itu wangi. Wangi kopi segar dan pastel de nata yang baru keluar dari oven. Saya  memesan secangkir espresso dan satu potong kue khas Portugal---kali ini bukan pastel de nata, tapi bola de Berlim, kue manis berisi krim kuning yang tak kalah populer. Meja di dekat jendela kosong. Duduk di sana, saya memandang keluar: stasiun tua dengan ubin-ubin keramik yang masih utuh, lalu lalang pelan orang-orang, dan sesekali suara lonceng kereta yang datang dari arah selatan.

Waktu perlahan bergerak, dan sore menjelma senja. Saya menyeruput kopi terakhir, membayar d, lalu berjalan kembali ke stasiun. Di dalam, suasana mulai ramai. Kereta menuju Lisboa  akhirnya tiba. Saya nain ke gerbong tengah dan duduk di sisi jendela. Kereta mulai bergerak perlahan dan makin lama makin cepat. Lampu-lampu jalan mulai menyala, satu per satu, saat kereta mulai bergerak meninggalkan Sintra.

Dalam gerbong: dokpri 
Dalam gerbong: dokpri 

Di dalam gerbong, kereta CP tampak lengang. Lampu neon menyala terang namun tidak menusuk, menciptakan bayangan lembut di atas kursi-kursi yang nyaris kosong. Pola merah-biru pada sandaran kursi seolah menyimpan ribuan cerita para pelancong sebelumnya. Di depanku, sepasang penumpang berdiri pelan, bersiap turun di stasiun berikutnya. Saya menyandarkan kepala, membiarkan roda besi melaju dan menggiring pikiran  pulang---bukan hanya ke Lisbon, tapi ke dalam diri sendiri.
Tiba tiba saja kereta berhenti, dna saya tersentak karena ini bukan stasiun Reboliera  yang sepi, melainkan stasiun besar dan ramai, Rossio, yang kemarin sempat saya lihat depannya.  

Estacao Rossia: dokpri 
Estacao Rossia: dokpri 

Rossio menyambut dalam remang  dengan langit-langit yang menjulang dan cahaya lembut dari jendela-jendela tinggi bergaya gotik. Stasiun tua ini terasa hidup malam itu---ramai tapi tidak gaduh, seperti orkestra senyap dari kaki-kaki yang tahu ke mana harus melangkah.
Saya turun  mengikuti arus orang-orang menuju gerbang keluar. Tapi ketika kartu Viva Viagem ditempel  ke mesin, lampunya berubah merah dan pintu tidak mau terbuka . Gagal. Kutatap lagi tiketnya---ternyata tiket pulang-pergi ke stasiun Reboleira ini tidak bisa digunakan untuk keluar di stasiun Rossio

Sedikit panik, saya mencari petugas. Ada seorang perempuan setengah baya  dengan seragam CP berdiri tak jauh dari pintu. Saya  menghampirinya dan menjelaskan dengan bahasa Portugal yang seadanya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu dengan santai men-tap kartunya ke mesin dan pintu terbuka. "No problem," katanya pendek. Saya  mengangguk, mengucapkan "obrigado" dan kembali mengangguk dalam rasa terima kasih yang tulus. Kebaikan kecil seperti itu selalu meninggalkan bekas dalam hati.

Suasana di Lisboa : dokpri 
Suasana di Lisboa : dokpri 

Hari sudah gelap saat saya  keluar dari Rossio. Kota Lisboa masih ramai dan saya memutuskan untuk naik metro menuju Martim Monez untuk mencari makan makan. Keluar stasiun saya berjalan di plaza dan melihat sebuah bangunan berwarna putih. Sebuah kapel barok, sunyi dan sederhana, berdiri di tepkan plaza.
 Lampu kota menyorotinya dari samping, menciptakan bayangan halus di dindingnya yang bertekstur. Tidak ada yang masuk, tidak ada suara yang keluar. Tapi ada sesuatu yang terasa hangat, seperti berkat diam-diam untuk perjalanan hari itu.

Kuliner: dokpri
Kuliner: dokpri

Saya berdiri sejenak di depannya. Lalu berjalan lagi. Lisbon malam itu seolah mengucapkan selamat malam perlahan, tanpa suara. Tidak terasa perut kembali meronta dan saya terus berjalan di kaki lima sambil melihat-lihat.
Di sebuah belokan yang tak terlalu mencolok, aroma rempah yang khas menarik perhatianku. Bau yang tak bisa ditolak oleh siapa pun yang baru selesai seharian menjelajah Sintra.
Restoran itu sederhana. Mungkin warung keluarga. Tak banyak meja, tak banyak dekorasi. Saya duduk dan melihat menu yang diberikan oleh  pelayan, seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan.

Saya membaca menu berbahasa portugis itu dan tetarik dengan  frango grelhado ayam panggang ala Portugis.  Ketika dihidangkan saya segera menikmatinya. Penampilannya  sederhana, namun rasanya ramai dan sedap. Lengkap dengan bumbu  bawang putih, minyak zaitun, dan rempah-rempah, disajikan dengan kentang goreng buatan rumah dan nasi putih yang pulen. Untuk minum segelas hangar cafe com leite atau kopi susu.
Suapan pertama, hangat dan menyenangkan. Bumbunya sedikit berani, dengan nada lada hitam dan jintan yang samar. Ayamnya empuk dan masih juicy. Nasinya pun pas, tidak terlalu lembek. Aku makan perlahan, menikmati setiap rasa yang datang satu per satu. Sebuah sajian sederhana yang terasa seperti pelukan setelah hari panjang.
Setelah kenyang, saya kembali ke stasiun. Naik metro menuju Alfornelos.
Dalam perjalanan kembali ke penginapan, langit  sudah sepenuhnya malam, dan suhu mulai turun. Jalanan menuju penginapan agak menanjak, dan lampu-lampu kuning jalanan membentuk bayangan panjang di dinding. Di sebuah taman kecil aku sempat berhenti sejenak. Ada kursi tempat sejenak beristirahat sambil menikmati Lisboa di waktu malam.
Malam itu, Sintra sudah jauh di belakang, tapi jejaknya masih tertinggal di tubuh dan pikiran. Bajaj putih, stasiun tua, petugas baik hati, dan ayam panggang, semuanya menyatu dalam satu narasi kecil dari perjalanan yang tak pernah diniatkan jadi istimewa, tapi justru menjadi kenangan yang akan lama tersimpan dalam memori.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun