Di dalam gerbong, kereta CP tampak lengang. Lampu neon menyala terang namun tidak menusuk, menciptakan bayangan lembut di atas kursi-kursi yang nyaris kosong. Pola merah-biru pada sandaran kursi seolah menyimpan ribuan cerita para pelancong sebelumnya. Di depanku, sepasang penumpang berdiri pelan, bersiap turun di stasiun berikutnya. Saya menyandarkan kepala, membiarkan roda besi melaju dan menggiring pikiran pulang---bukan hanya ke Lisbon, tapi ke dalam diri sendiri.
Tiba tiba saja kereta berhenti, dna saya tersentak karena ini bukan stasiun Reboliera yang sepi, melainkan stasiun besar dan ramai, Rossio, yang kemarin sempat saya lihat depannya.
Rossio menyambut dalam remang dengan langit-langit yang menjulang dan cahaya lembut dari jendela-jendela tinggi bergaya gotik. Stasiun tua ini terasa hidup malam itu---ramai tapi tidak gaduh, seperti orkestra senyap dari kaki-kaki yang tahu ke mana harus melangkah.
Saya turun mengikuti arus orang-orang menuju gerbang keluar. Tapi ketika kartu Viva Viagem ditempel ke mesin, lampunya berubah merah dan pintu tidak mau terbuka . Gagal. Kutatap lagi tiketnya---ternyata tiket pulang-pergi ke stasiun Reboleira ini tidak bisa digunakan untuk keluar di stasiun Rossio
Sedikit panik, saya mencari petugas. Ada seorang perempuan setengah baya dengan seragam CP berdiri tak jauh dari pintu. Saya menghampirinya dan menjelaskan dengan bahasa Portugal yang seadanya. Ia hanya tersenyum kecil, lalu dengan santai men-tap kartunya ke mesin dan pintu terbuka. "No problem," katanya pendek. Saya mengangguk, mengucapkan "obrigado" dan kembali mengangguk dalam rasa terima kasih yang tulus. Kebaikan kecil seperti itu selalu meninggalkan bekas dalam hati.
Hari sudah gelap saat saya keluar dari Rossio. Kota Lisboa masih ramai dan saya memutuskan untuk naik metro menuju Martim Monez untuk mencari makan makan. Keluar stasiun saya berjalan di plaza dan melihat sebuah bangunan berwarna putih. Sebuah kapel barok, sunyi dan sederhana, berdiri di tepkan plaza.
Lampu kota menyorotinya dari samping, menciptakan bayangan halus di dindingnya yang bertekstur. Tidak ada yang masuk, tidak ada suara yang keluar. Tapi ada sesuatu yang terasa hangat, seperti berkat diam-diam untuk perjalanan hari itu.
Saya berdiri sejenak di depannya. Lalu berjalan lagi. Lisbon malam itu seolah mengucapkan selamat malam perlahan, tanpa suara. Tidak terasa perut kembali meronta dan saya terus berjalan di kaki lima sambil melihat-lihat.
Di sebuah belokan yang tak terlalu mencolok, aroma rempah yang khas menarik perhatianku. Bau yang tak bisa ditolak oleh siapa pun yang baru selesai seharian menjelajah Sintra.
Restoran itu sederhana. Mungkin warung keluarga. Tak banyak meja, tak banyak dekorasi. Saya duduk dan melihat menu yang diberikan oleh pelayan, seorang lelaki berusia tiga puluh tahunan.
Saya membaca menu berbahasa portugis itu dan tetarik dengan frango grelhado ayam panggang ala Portugis. Ketika dihidangkan saya segera menikmatinya. Penampilannya sederhana, namun rasanya ramai dan sedap. Lengkap dengan bumbu bawang putih, minyak zaitun, dan rempah-rempah, disajikan dengan kentang goreng buatan rumah dan nasi putih yang pulen. Untuk minum segelas hangar cafe com leite atau kopi susu.
Suapan pertama, hangat dan menyenangkan. Bumbunya sedikit berani, dengan nada lada hitam dan jintan yang samar. Ayamnya empuk dan masih juicy. Nasinya pun pas, tidak terlalu lembek. Aku makan perlahan, menikmati setiap rasa yang datang satu per satu. Sebuah sajian sederhana yang terasa seperti pelukan setelah hari panjang.
Setelah kenyang, saya kembali ke stasiun. Naik metro menuju Alfornelos.
Dalam perjalanan kembali ke penginapan, langit sudah sepenuhnya malam, dan suhu mulai turun. Jalanan menuju penginapan agak menanjak, dan lampu-lampu kuning jalanan membentuk bayangan panjang di dinding. Di sebuah taman kecil aku sempat berhenti sejenak. Ada kursi tempat sejenak beristirahat sambil menikmati Lisboa di waktu malam.
Malam itu, Sintra sudah jauh di belakang, tapi jejaknya masih tertinggal di tubuh dan pikiran. Bajaj putih, stasiun tua, petugas baik hati, dan ayam panggang, semuanya menyatu dalam satu narasi kecil dari perjalanan yang tak pernah diniatkan jadi istimewa, tapi justru menjadi kenangan yang akan lama tersimpan dalam memori.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI