Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

II. Buah dari Lara

13 Juli 2019   12:11 Diperbarui: 13 Juli 2019   12:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Entah apa yang ada di pikiran Tama saat Layla mengajukan pertanyaan seperti itu. Tiba-tiba suasana menjadi sangat aneh bagi Layla melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Tama. Kegembiraan pertemuan itu seketika lenyap. Tertelan kenangan yang mendadak menyeruak. Nampaknya Tama sekarang telah berubah dengan senyum kecilnya.

"Apa yang aku harapkan? Apa harus aku menginginkan sesuatu dari kamu disaat semua ini terasa cukup?" pikir Tama sembari mencoba menemukan secerca harapan yang mungkin bisa didapat.

"Tam! Malah bengong lho..."

"Haruskah ada 'harapan' itu? Lantas buat apa aku mesti berharap kalau pada akhirnya harapan-harapan itu hanya untuk menyenangkankan egoku. Apalagi jika kamu menanyakan padaku tentang harapanku kepada apa yang aku berikan. Tiba-tiba saja aku merasa bodoh, Laa."

***

Semasa kecil, dikala rumah di tepian sawah itu menjadi saksi sebuah perjalanan. Antara cinta maupun luka. Meskipun halamannya nampak sangat sejuk dengan pepohonan yang rindang dengan buahnya yang bergiliran menyapa di tiap musimnya. Dan ketika angin itu berhembus lirih, suaranya yang membelai pohon-pohon bambu hingga menyerukan melodinya sendiri. Kemesraan di kisaran rumah itu tak lekas mempengaruhi rumah itu.

Pada suatu malam, suara kegaduhan membangunkan Tama kecil. Menangislah ia tanpa seorang pun yang memperdulikan. Untung saja tangisan anak kecil adalah suatu tanda jika tangisan tersebut adalah tanda akan butuhnya suatu perhatian. Tangisan Tama kecil sendiri terlalu lirih jika mesti dibandingkan dengan kegaduhan itu.

Sadar akan tidak kunjung datang perhatian tersebut, akhirnya ia lelah dan mendadak terhenti tangisannya. "Dimana sih ibu! Aku takut dengan suara-suara itu." pikir Tama kecil.

Waktu menunjukkan hampir tengah malam, Tama pun akhirnya memberanikan diri untuk keluar mencari Sang Ibu. Baru satu langkah keluar dari kamarnya, rasa nyeri pun mendadak dirasakan pada telapak kaki kanannya. Darah pun ternyata mengucur setelah kakinya menginjak pecahan sebuah kaca. Namun Tama kecil nampaknya tidak takut dengan darah itu, justru ia merasa heran lantas ia duduk mencoba memperhatikan lukanya.

Sembari merasa terheran, dilihatlah suasana di depan kamarnya yang menambah semakin menambah rasa keheranannya. Baru sekali ini mungkin panorama rumah dengan tatanan seperti ini. Bagaimana tidak? Sebuah almari besar dengan segala hiasannya rubuh, segala barang pecah belah pun hampir habis tak tersisa setelah puing-puningnya berserakan hampir di setiap sudut rumah. Kursi-kursi bergeser tidak pada tempatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun