Mohon tunggu...
Almira Tatyana
Almira Tatyana Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya Mahasiswa

Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran maupun tindakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Payung yang Membuat Hujan Perempuan Itu Reda

30 Mei 2017   21:48 Diperbarui: 31 Mei 2017   01:17 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Hujan adalah hal yang paling perempuan itu benci didunia. Tak peduli omongan orang atau kepercayaan yang selalu ditanamkan bahwa hujan adalah berkah, dia tetap membencinya dengan sepenuh hati. Hujan membuat manusia egois dengan hanya memikirkan diri mereka sendiri untuk menyelamatkan diri dari guyuran air, tanpa sekalipun peduli dengan yang lain. Tidak peduli seberapa besar payung mereka untuk berbagi mereka hanya akan memikirkan diri sendiri. Hal yang terpenting adalah  tubuh mereka tidak basah. Pokoknya, perempuan itu sangat membenci hujan.

          Secangkir kopi di waralaba, sembari menunggu hujan reda adalah pilihan yang tersisa untuk sekarang. Dia menaruh seluruh perlengkapannya dan menghempaskan beban tubuhnya ke kursi. Sembari menunggu pesanan datang, perempuan itu telah sibuk dengan laptop dan larut dalam pekerjaan yang sesak menghimpit. Sebuah email masuk membuatnya mengernyit masam, hanya email 3 baris bernada perintah dari Sang Bos. Perintah sederhana,  hanya  disuruh mengantarkan map yang berisi artikel dan sebuah surat yang ia tulis, ke kantor yang hanya berjarak 100 meter disebrang kafe ini. Artikel dan surat yang telah dibubuhi tanda tangannya.  Lagipula diluar sana banyak ojek payung yang menunggu uang duaribuan dan akan mengantarkannya tanpa basah sedikitpun. Tapi dia sangat membenci hujan, dia benci berjalan di atas hujan, dibawah hujaman titik titik air , hawa dingin yang membuatnya menggigil merinding mengingat masa lalunya. Tapi tak etis rasanya jika dia menolak permintaan atasannya dengan alasan yang konyol itu, lagipula atasannya sudah banyak berbuat baik padanya, terlalu banyak malah untuk menolak perintahnya. Jadi dia mengemasi lagi barang barangnya dan bersiap langkahkan kakinya kedalam hujan.

Sudah sejak lama sejak ia bisa mengingatnya ketika kulitnya diterpa percikan lembut hujan yang terus mengguyur. Sedari tadi banyak anak anak yang mungkin masih duduk di sekolah dasar menawari jasa kepadanya. Perempuan itu masih ragu untuk melangkahkan dirinya melintasi hujan. Namun ada satu anak yang menarik perhatiannya, dia tidak menawarinya ataupun menarik narik tangannya, hanya menunggu di sampingnya sambil terus memegang payung birunya. Perempuan itu mengenali logo perusahaan tempatnya bekerja di payung anak itu, selain karena rasa penasarannya, logo perusahaan tempatnya bekerja juga menarik perhatiannya. Baru saja mulutnya membuka untuk memanggil bocah lelaki itu, dia telah mendatangi perempuan itu dan mendekatkan payungnya pada tubuh perempuan itu, tubuh bocah itu kurus, namun lincah.  Mereka berjalan dalam diam, perempuan itu awalnya menggigil ketika melangkahkan kakinya melewati genangan air, jiwanya kabur dan hujaman air ini seketika meranggas akalnya. Namun anak itu dengan tenangnya berjalan sambil menghindari genangan air semaksimal mungkin. Dia juga membantu membawakan barang perempuan itu, tapi membiarkan perempuan itu membawa mapnya. Seolah olah tahu bahwa isi dalam map itu berharga dan memang sangat berharga. Kaki mereka sudah menginjakkan halaman gedung perkantoran mewah tersebut, setelah perempuan itu menyodorkan sejumlah uang yang lebih dari cukup, bocah itu mengucapkan terima kasih, tersenyum lalu pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

          Keesokan harinya dengan segala kesibukan urban, perempuan itu masih menyempatkan diri mengunjungi kafe langganannya, mungkin di kafe inilah tempat ternyaman yang bisa dia temukan untuk sekarang, dengan rumah yang seharusnya sebagai tempat mencari nyaman sudah ia coret dari daftar sejak lalu. Rintik hujan kembali terdengar kala jemarinya sedang menari diantara tuts tuts dan artikel mingguannya. Perasaan hampa itu datang lagi, perasaan yang sama sejak saat itu, dikala hujan turun. Sempat sesaat semua diotaknya buyar dan perempuan itu hanya termenung sambil memandang keluar lewat kaca bening kafe itu. Anak itu masih berdiri disana! Memegang payung biru logo perusahaan tempatnya bekerja sambil berdiri menghadap jalan, seperti sedang menunggu. Padahal banyak orang yang berlalu lalang, sangat membutuhkan jasanya. Tapi dia masih bergeming disana.

Perempuan itu merasa aneh, apakah mungkin anak itu menungguinya?. Rasa penasarannya kian menderas seiring lebatnya hujan turun. Baru saja kakinya melangkahkan ke dunia luar ketika sekelebat payung biru sudah membayanginya. Bocah itu tersenyum, lalu membawakan hampir semua barang wanita itu, kecuali tas tangan yang ia genggam sejak tadi. Dibawah guyuran air hujan, perempuan itu hanya bergeming, tak tahu harus berbuat atau mengatakan apa. Bocah itu kembali menghindari genangan genangan air dengan lincahnya, dan menjaga perempuan itu agar tetap kering. Perempuan itu memberi sejumlah uang yang kelewat berlebih jika hanya sekedar untuk ojek payung. Anak lelaki itu menolak halus “Maaf mbak, saya nggak punya kembalian, uang yang mbak beri  kemarin juga sudah cukup banyak, makasih mbak lain waktu aja bayarnya” anak itu hendak bersiap pergi ketika perempuan itu menarik tangannya dan menyelipkan uang di jemari basahnya. “Ambillah, ini memang rezekimu” ujar perempuan itu lembut.  Anak itu mengangguk dan mengeluarkan senyum yang memperlihatkan sederet gigi putih lalu pergi tandangi hujan lagi.

          Sebenarnya hari ini tidak ada kepentingan pekerjaan untuk datang dan duduk di kafe ini, perempuan itu hanya ingin menunggu anak kemarin yang tak pernah muncul selain ketika hujan sudah deras mendera. Akhirnya rintik hujan mulai turun perlahan dan semakin cepat menderu. Seperti yang sudah ia duga, anak lelaki itu  muncul dan menungguinya lalu lekas memayungi sekilas ketika dia melangkahkan kaki keluar. Perempuan itu menyingkirkan payung biru besar itu, dan membujuk anak itu masuk. Binar di mata anak itu kentara sekali ketika dihadapkan pada berbagai macam pilihan donat dan segelas besar minuman. “Ada apa dek? Saya penasaran sama kamu” hanya kata kata itu yang bisa dia lontarkan dari mulutnya. “Aku suka baca artikel mbak di majalah yang ibu bawakan tiap bulan, cuman artikel yang mbak tulis yang bisa menjangkau untuk kami, menghibur tapi banyak banget hal dari sana yang bisa aku dapetin,  aku jadi tahu banyak mbak” Anak itu tersenyum, dengan polosnya menggigit donat cokelat keduanya. Perempuan itu mengernyitkan dahi, tanpa bertanya pun ia sudah tahu siapa ibu anak itu, cleaning service di kantor tempatnya bekerja. Wanita tangguh yang sangat ia percayai, yang dia beri payung serta segala aksesoris perusahaan, supaya dia merasa jadi bagian perusahaan itu walaupun hanya seorang cleaning service. Ibu itu juga rutin ia berikan majalah gratis perusahaan tersebut tiap bulannya.  

“Ibu sering cerita tentang mbak, orang yang berada dibalik artikel artikel itu. Ibu bilang dia sangat cemas  tiap kali musim hujan , karena pasti mbak menggigil ketakutan. Sebenernya ini inisiatif aku sendiri, karena ibu sempat melarang dari awal, ibu sangat mengkhawatirkan mbak, mungkin dengan aku menemani, bisa sedikit mengurangi kegelisahan mbak setiap hujan turun.” Meskipun sekarang cokelat telah menghambur di giginya, namun senyum anak itu masih sakti meluluhkan hatinya.  Anak ini cetakan tinggi dari luhur ibunya, yang juga sering menungguinya jika perempuan itu lembur bekerja.

Setitik air bening menetes jatuh ke lantai, diusapnya air mata itu perlahan sambil kembang merekah di wajah ayunya. “Terima kasih banyak, terima kasih, sampaikan ke ibumu bahwa ucapan ini takkan pernah cukup keluar dari mulut saya. Tak akan pernah saya sesalkan lagi jika dulu mama  pernah meninggalkan saya sendiri ditengah hujan, masuk ke dalam mobil demi lelaki lain,  sebab yang membuat saya tak pernah suka pada hujan. Saya sangat bersyukur sekarang”. Perempuan itu tersenyum tulus lalu menyodorkan 2 kotak donat dan setebal amplop yang memang sudah dia siapkan sejak tadi. “Jemput ibumu dek, sekarang ia masih dikantor, tenang saja tak usah pikirkan saya, hujan disini sudah reda” anak itu tersenyum lagi, senyum yang langsung menghangatkan tubuh dan hati perempuan itu, lalu pergi dengan payung biru berlogo perusahaan multinasional itu. Sekali lagi perempuan itu mengusap air matanya, bulir lembut itu tak akan pernah jatuh sia sia lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun