Perlahan tapi pasti, Bu Seno merangkul pundak Jessi dari belakang, "Mama percaya, nak! Dulu, almarhum Papamu juga bisa melihat hal-hal seperti itu. Kalian memang punya bakat khusus."
Kenapa Mama nutupin hal ini? tulis Jessi di notes telepon pintarnya.
"Mama nggak mau kehilangan kamu, nak! Kalau orang tahu, bahaya! Nyawa kamu taruhannya..."
Jadi, Papa... dibunuh? bulir air mata Bu Seno menetes membaca ketikan buah hatinya itu. Terbayang olehnya tempat kejadian perkara 10 tahun lalu yang hingga kini masih menyergap tidur malamnya.
"Yang jelas, kematian Papamu itu... mencurigakan," kilah Bu Seno singkat. Beliau berjalan dengan gontai ke dapur. Suara irisan apel berganti mengisi sunyi.
***
"Sebenernya, lebih enak dan lebih murah punyanya Jeng Aminah dulu daripada Neng Ija..."
"Iya, Mbak... Tapi sayang banget ya, orangnya tiba-tiba pindah karena masalah itu..."
"Eh, emang kenapa? Saya warga baru disini, emang apa yang terjadi sama Jeng Aminah?"
"Eman tenan, ancene. Orangnya itu ayu, lebih cantik dari Jessi anaknya Bu Seno..."
Setiap pergi dan pulang dari kampus, Jessi mendengar hal serupa saat melintasi Warung Pecel Neng Ija. Namun, malam ini... keadaan kampung cukup senyap hingga bulan dan bintang tidak menampakkan sinarnya. Ia memandangi warung yang tertutup rapat itu, teringat akan senyum dan keramahan Jeng Aminah yang sering menyuapinya saat masih bocah.