Indonesia memiliki kekayaan kuliner yang sangat mencerminkan budaya, sejarah, dan kearifan lokal setiap daerah. Makanan seperti gudeg, papeda, dan tempoyak bukan hanya soal rasa, tapi juga bagian dari identitas budaya yang layak dihargai.
Sayangnya, di era digital, masih banyak orang yang dengan mudah menghina makanan daerah hanya karena tampilannya atau aromanya, bahkan tanpa pernah mencicipinya. Komentar negatif seperti ini bisa menyakiti dan merendahkan nilai budaya di balik makanan tersebut.
Sikap seperti itu mencerminkan kurangnya empati dan wawasan budaya. Tidak suka boleh, tapi bukan berarti boleh menghina. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun pola pikir yang terbuka dan saling menghargai. Menghargai makanan berarti menghargai budaya dan keberagaman itu sendiri.
Makanan Lebih dari Sekadar Rasa
Setiap makanan pasti memiliki cerita tersendiri bagaimana makanan tersebut muncul dan apa keterkaitan makanan tersebut dengan wilayah tersebut. Misalnya, papeda dari Papua yang dibuat dari sagu adalah cerminan bagaimana masyarakat setempat hidup berdampingan dengan alam. Gudeg dari Yogyakarta yang memiliki filosofi cerminan nilai-nilai kehidupan dalam budaya Jawa, yaitu kesabaran, ketelitian, dan ketenangan dalam proses memasaknya yang lama.
Lalu ada juga dengan kepintaran masyarakatnya dalam hal menyimpan makanan agar tidak mudah basi, Tempoyak dari daerah Sumatra. Makanan ini adalah salah satu Langkah cerdik masyarakat dalam mengolah dan mengawetkan sumber daya alam (durian) agar tidak terbuang sia-sia, serta penanda warisan budaya kuliner yang telah menyebar melalui migrasi dan adaptasi di berbagai daerah.
Jadi, ketika kita mencicipi makanan dari daerah lain, kita sebenarnya sedang “membaca” bagian dari sejarah dan kebudayaan mereka. Maka, tak pantas rasanya jika kita langsung menghina hanya karena tidak cocok di lidah kita karena semuanya lahir dari proses panjang yang melibatkan nilai budaya, lingkungan, dan kreativitas.
Selera Boleh Beda, Tapi Tetap Hormat
Tidak semua orang bisa langsung suka dengan rasa yang asing. Itu wajar. Tapi perbedaan selera bukan alasan untuk melontarkan komentar negatif. Ungkapan seperti "tidak cocok di lidah saya" jauh lebih bijak dibandingkan berkata "makanannya menjijikkan".
Menghargai selera orang lain adalah bagian dari sikap dewasa dan terbuka. Apalagi di Indonesia, yang punya ratusan suku dan budaya, menghargai perbedaan dalam hal makanan adalah langkah awal untuk membangun toleransi yang lebih luas.
Bahaya Komentar Kasar terhadap Makanan
Menghina makanan bisa berdampak lebih besar dari yang kita bayangkan. Bagi sebagian orang, makanan bukan hanya sekadar soal rasa, tapi juga menyangkut identitas, kebanggaan, bahkan harga diri. Setiap makanan khas biasanya memiliki cerita, sejarah, dan nilai budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Ketika seseorang menghina makanan tersebut, secara tidak langsung ia juga merendahkan nilai-nilai budaya yang ada di baliknya.
Contohnya, bubur Manado—makanan khas dari Sulawesi Utara yang terbuat dari campuran nasi, labu, sayuran, dan rempah-rempah—pernah menjadi bahan ejekan di media sosial. Ada yang menyamakan tampilannya dengan "muntahan kucing", tanpa memahami makna dan kekayaan gizi di balik hidangan tersebut. Padahal, bubur Manado bukan hanya lezat dan sehat, tapi juga merupakan simbol kearifan lokal dalam memanfaatkan bahan pangan alami yang ada di sekitar.
Komentar seperti itu, meskipun terdengar bercanda, sebenarnya bisa menyakiti perasaan masyarakat yang bangga dengan kuliner tradisionalnya. Di era digital saat ini, ucapan negatif dengan mudah menjadi viral, dan bisa membentuk persepsi buruk terhadap suatu daerah atau budaya. Hal ini bukan hanya merugikan secara emosional, tetapi juga dapat berdampak pada sektor pariwisata dan ekonomi lokal yang menggantungkan diri pada kekayaan kuliner.
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk berpikir matang sebelum berkomentar, baik secara langsung maupun di media sosial. Mengkritik boleh, tapi harus dengan cara yang santun dan bijak. Karena pada akhirnya, cara kita memperlakukan makanan mencerminkan seberapa besar kita menghargai perbedaan, budaya, dan manusia itu sendiri.
Menghargai Makanan = Menghargai Budaya
Menghargai makanan dari daerah atau negara lain sejatinya adalah bentuk penghargaan terhadap budaya, sejarah, dan cara hidup masyarakat di baliknya. Setiap hidangan membawa cerita—tentang tradisi, lingkungan, bahkan perjuangan masyarakat dalam menjaga warisan leluhur. Dengan mencoba dan memahami makanan baru, kita tidak hanya memperluas selera, tapi juga membuka wawasan terhadap keberagaman dunia dan memperkaya pengalaman pribadi kita.
Melalui makanan, kita bisa belajar tentang nilai kebersamaan, gotong royong, hingga filosofi hidup dari suatu daerah. Kita tak harus menyukai semua jenis makanan, karena selera setiap orang memang berbeda. Namun, kita selalu bisa belajar untuk tidak merendahkannya, apalagi menghina. Sikap saling menghargai dalam hal sekecil makanan, pada akhirnya mencerminkan kedewasaan dan toleransi kita dalam menyikapi perbedaan.
Kuliner adalah bahasa universal. Ia tidak membutuhkan kata-kata, namun mampu menyampaikan rasa, cerita, dan identitas. Di tengah keragaman yang ada, mari kita belajar untuk saling menghargai, termasuk dalam urusan makanan. Karena dari makanan, kita bisa mulai membangun sikap toleransi, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan.
Jadi, lain kali saat kamu mencoba makanan dari budaya lain—cobalah dengan hati terbuka. Siapa tahu, kamu tidak hanya menemukan rasa baru, tapi juga pemahaman baru tentang dunia dan manusia di dalamnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI