Mohon tunggu...
Tan Malako
Tan Malako Mohon Tunggu... Penganggur

Kaum rebahan. Suka bakso dan mie ayam.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Re-Kolonialisasi: Konstruksi Nalar Kolektif & Hegemoni Simbolik

29 Agustus 2025   21:13 Diperbarui: 29 Agustus 2025   21:13 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Re-Kolonialisasi (Sumber; Koleksi pribadi) 

Keberhasilan rekolonialisasi terletak pada kemampuannya menciptakan rasa "kenormalan." Melalui paparan berulang, simbol-simbol kolonial menjadi akrab, bahkan diidamkan. Robert Zajonc (1968) menyebut mekanisme ini sebagai mere exposure effect: sesuatu menjadi lebih disukai hanya karena sering dilihat. Wajah blasteran di televisi, nama Eropa di media sosial, hingga liputan heroik pemain naturalisasi, semua mengukuhkan logika kolonial dalam kesadaran publik.

Achille Mbembe, dalam On the Postcolony (2001), menyebut bentuk kekuasaan ini sebagai kekuasaan cair: ia tidak hadir sebagai dominasi frontal, tetapi sebagai kehadiran yang intim dan natural. Rekolonialisasi bekerja seperti bayangan: tak terlihat, tetapi selalu ada, mengikuti gerak tubuh dan pikiran kita.

Masalah utama terletak pada ketidaksadaran kolektif. Ketika publik merayakan keberhasilan pemain naturalisasi atau memuja selebriti berwajah Eropa tanpa mengkritisi struktur simbolik di baliknya, nalar kolektif telah sepenuhnya dikooptasi. Proses ini bukan sekadar imitasi, melainkan penyerahan diri yang berlangsung tanpa resistensi.

Pembentukan nalar kolektif ini tidak lepas dari peran institusi formal dan informal. Kurikulum pendidikan masih menempatkan Barat sebagai pusat pengetahuan. Media massa terus memproduksi citra yang mengulang superioritas Eropa. Negara, melalui kebijakan naturalisasi dan promosi budaya populer, secara tidak langsung mengafirmasi simbol kolonial. Michel Foucault dalam The Order of Things (1966) menguraikan bagaimana struktur pengetahuan menentukan cara berpikir masyarakat, mengunci imajinasi kolektif dalam kerangka yang telah ditentukan.

Untuk membongkar mekanisme ini, dekonstruksi menjadi langkah epistemik yang tak terhindarkan. Jacques Derrida, dalam Of Grammatology (1967), mengajarkan bahwa setiap sistem tanda memiliki celah --- titik rapuh yang memungkinkan pembalikan. Melawan nalar kolektif kolonial berarti mengungkap mekanisme yang menaturalisasi dominasi, sekaligus membangun ruang untuk menulis ulang narasi.

Rekolonialisasi, dengan demikian, bukanlah peristiwa tunggal, melainkan proses panjang yang berlangsung senyap. Ia hidup dalam bahasa, estetika, olahraga, bahkan mimpi kolektif tentang kemajuan. Tanpa kesadaran kritis, kita hanya akan menjadi figuran dalam drama sejarah yang skenarionya sudah lama ditulis --- drama di mana kita, dengan sukarela, mengangkat simbol-simbol kolonial sebagai bendera masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun