Agnes sudah menjadi wanita dewasa yang cantik dan pintar. Kata Naftali, anak tunggalnya itu kini menjadi perawat dan telah bertunangan dengan seorang tentara. Dari sekian banyak rumah sakit ternama yang menawarkan pekerjaan, Agnes justru memilih bekerja di Rumah Sakit Jiwa tempat di mana ayahnya berada. Naftali merasa sangat beruntung memiliki anak seperti Agnes yang bisa menerima bagaimana pun kondisi ayahnya. Ketika Naftali menceritakan problem keluarga mereka yang sebenarnya, Agnes bisa menyikapi dengan bijaksana. Bagi Naftali, Agnes adalah peri yang telah dikirim Tuhan untuk membuat hidupnya menjadi riang. Naftali sendiri kini sudah renta.
Meski demikian, ia masih kerap membesuk Limbong. Sekadar untuk bercerita tentang kehidupannya bersama Agnes atau duduk berdua sambil menyuapi lakinya itu - meski tak setiap hari karena Naftali sendiri sudah sering sakit-sakitan. Pada tahun keduapuluh tiga menjalani perawatan di RSJ tersebut, akhirnya Limbong meninggal diusianya yang ke 56. Agnes menemukan ayahnya itu tergolek lemah di kursi kamarnya dengan kepala terkulai ke kiri. Naftali mengatakan padaku sambil sesugukan, dokter bilang Limbong meninggal akibat penyakit kanker hati.
**
Aku terheran-heran ketika malam itu sosok berjubah putih dan bersayap menembus pintu kamar Naftali yang tertutup rapat. Aku panik tapi tak bisa berbuat apa-apa. ‘Siapa dia? Apa yang hendak dilakukannya di dalam sana?’ Ke esokan pagi kulihat Agnes menangis meraung di samping Naftali yang masih tidur di ranjang. Aku kebingungan. Satu-persatu orang berpakaian serba hitam berdatangan. Mereka pun menangis saat melihat Naftali yang masih tertidur dipindahkan ke dalam sebuah peti kayu. Kulihat wajah Naftali tenang dan damai, tapi kenapa semua orang menangisinya? Peti berukirkan salib itu lalu ditutup dan digotong beberapa orang ke luar rumah entah ke mana. Agnes mengikuti mereka sambil mengucurkan air mata.
Sebulan, sejak peristiwa itu, rumah ini tak berpenghuni. Tak ada lagi yang mengajakku berbincang saat suluh cahaya fajar merekah atau ketika remang malam telah merapat. Aku merindukan saat-saat Naftali mencurahkan isi hatinya padaku. Di tengah kerinduanku itu, kudengar pintu rumah ini berderit. Langkah sepatu mendekat. Sayup-sayup terdengar suara perempuan dan lelaki berbincang. Agnes pulang! Tapi bukan bersama Naftali, melainkan dengan seorang lelaki. Kulihat cincin emas permata yang sama melingkar di jari manis kanan mereka. Agnes dan lelaki itu menyusuri rumah ini. Mata Agnes berkaca-kaca memandang foto-foto kenangan yang terpajang di dinding. Tatapan Agnes lalu tertuju padaku. Kami saling bersitatap.
“Sayang, kau sedang lihat apa?” tanya lelaki itu pada Agnes.
“Patung Bunda Maria di meja kayu itu, sayang. Di depan patung itulah dulu aku sering melihat mama berdoa,” telunjuk Agnes teracung ke arahku.
Agnes berjalan menghampiriku, lalu berlutut menghadapku, jari-jemarinya saling menggamit dan kedua matanya memejam, seperti yang sering dilakukan Naftali dulu. (*)
-------------------
1) Doa tradisional Katolik kepada Maria, bunda Yesus untuk memohonkan perantaraannya.