Mohon tunggu...
Takas T.P Sitanggang
Takas T.P Sitanggang Mohon Tunggu... Mantan Jurnalist. Masih Usahawan

Menulis adalah rasa syukurku kepada Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saksi Bisu

31 Januari 2016   14:35 Diperbarui: 31 Januari 2016   19:42 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naftali duduk di depanku sambil menangis tersedu. Segaris luka yang masih basah menganga di keningnya. Naftali bilang, luka itu akibat tubuhnya didorong Limbong hingga tersungkur sampai keningnya membentur siku-siku bangku. Belum puas melihat ia merintih, bermacam nama binatang jalang lalu keluar dari mulut Limbong yang menghamburkan bau minuman alkohol. Limbong marah karena begitu sampai di rumah Naftali lama membuka pintu.

Limbong memang akan selalu pulang dengan kondisi yang kacau jika ada masalah dalam pekerjaannya sebagai Manager Marketing di sebuah perusahaan tambang. Kadang ia pulang dengan penampilan yang semrawut. Kadang menggerutu sambil bersungut-sungut. Namun lebih sering ia mabuk. Jika sudah begitu, secuil kesalahan yang dibuat Naftali - sekalipun tak disengaja - akan menjadi dosa besar di mata Limbong. Pernah suatu malam, Limbong mengguyur kopi panas ke wajah Naftali hanya karena minuman yang disuguhkan itu terlalu pahit. Saat menceritakan kejadian itu, dengan wajah yang merah terbakar, tak terhitung berapa banyak air mata Naftali yang berjatuhan.

Kehidupan pernikahan Naftali memang lebih banyak memerihkan duka. Bukan tak pernah terpikir olehnya untuk bercerai. Namun begitu teringat kembali janji perkawinan yang ia ucapkan lima tahun lalu di hadapan Pastor, Naftali segera mengungkung niatnya itu. Ia tak pernah lagi menganggap perceraian sebagai penyelesaian. Naftali pun tak ingin Agnes - putrinya yang berusia 3 tahun - tumbuh di tengah keluarga yang tak utuh. Membayangkan itu Naftali sungguh tak tega. Dan Naftali akan selalu berdoa Salam Maria1 untuk meredam egonya.

**

Hujan masih merincis di luar sana, seperti air mata Naftali yang terus mengalir di pipinya yang tirus. Naftali datang padaku lalu dengan terbata-bata memberi kabar yang mengejutkan. Limbong masuk bui karena terbukti menyuap pejabat demi kelancaran proyek perusahaannya di salah satu kabupaten di Maluku. Limbong divonis 2 tahun penjara dan didenda 200 juta rupiah. Hati Naftali terbelah. Sebelah hatinya lega karena tak akan ada lagi yang menindasnya di rumah. Sebelah hatinya lagi sedih karena bagaimana pun Limbong adalah suaminya, ayah dari anaknya. Seperti ada pedang tajam yang menusuk-nusuk hatinya tiap kali melihat pemberitaan mengenai Limbong di televisi atau surat kabar. Terlebih di saat terpuruk seperti ini sanak-saudara terasa menjauh. Seolah-olah perbuatan Limbong laik penyakit yang paling menjijikkan dan serta-merta bisa menulari mereka.

Seminggu setelah Limbong di penjara, dengan lugu Agnes menanyakan keberadaan Limbong. Dan Naftali mengatakan padaku, ia terpaksa berbohong. Ia bilang pada Agnes bahwa Limbong tengah bekerja di luar negeri untuk waktu yang sangat lama.

Untuk melanjutkan hidup bersama Agnes, Naftali bekerja sebagai guru TK. Sebenarnya ia bisa saja memanfaatkan tabungan suaminya untuk membuka usaha. Namun, Naftali ragu apakah uang tabungan Limbong yang berjumlah ratusan juta itu ‘bersih’. Betapa dia takut jika suatu hari tersangkut kasus hukum karena menggunakan uang tabungan tersebut. Itu tak boleh terjadi, baiknya kupakai ketika kasus ini sudah benar-benar tuntas, Naftali membatin.

Selesai mengajar Naftali biasa membesuk Limbong sembari membawa Saksang2 - makanan kesukaan Limbong. Namun, belakangan, Naftali memilih menitipkan makanan itu kepada petugas Lapas. Naftali berkata padaku, ia terpaksa melakukannya karena tak tahan menghadapi sikap Limbong yang tambah beringas. Tiap kali ia berkunjung, Limbong akan membuang makanan yang dibawanya lalu mencerca dengan murka yang menyala-nyala. Seolah ia adalah biang dari kemalangan nasib suaminya itu.

Telah lama hati Naftali terluka karena sikap kasar Limbong, tapi tak pernah sekalipun terpikir olehnya untuk berselingkuh apalagi mencari pengganti. Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian pun sakit hati adalah bagian dari jatuh cinta. Perkawinan akan menjadi sempurna ketika suami dan istri mau menerima keduanya. Itulah kata-kata yang diingat Naftali dari kotbah Pastor Benny suatu hari. Kata-kata itu pula yang selalu meneguhkan hati Naftali untuk mempertahankan biduk rumah tangganya bersama Limbong.

Kian hari keadaan Limbong makin memburuk. Ia sering berlaku aneh di dalam jeruji. Kadang petugas Lapas mendapati Limbong tengah membentur-benturkan kepalanya ke tembok hingga berdarah. Kadang tengah malam ia menangis erang seperti binatang terluka. Seorang psikolog yang sengaja didatangkan Kepala Lapas menyatakan, Limbong mengalami gangguan kejiwaan karena depresi. Limbong lantas dialihkan ke Rumah Sakit Jiwa. Kini ia lebih banyak melamun, tatapannya kosong, dan wajahnya tak berekspresi, demikian yang dikatakan Naftali padaku dengan raut yang penuh haru. Dan Naftali akan selalu berdoa Salam Maria untuk menegarkan hatinya.

**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun