Pelan-pelan tirai malam terangkat oleh tangan-tangan tidak kasat mata.
Tentang insan manusia yang menikmati penuh keindahan dan kesabaran akan sebuah penantian. Memohon perlindungan Allah untuk menemukan jalan hidupnya.
Bukankah “berburu” takjil tidak hanya sekadar transaksi saja? Ada gotong-royong di sana, ada silaturahmi di sana.
Lalu apa yang kamu cari? Apakah parade burung-burung camar yang berarak pulang,
Kapan terakhir kali kita memasukkan rupiah ke pundi-pundi amal, tanpa menengadahkan kepala kepada Tuhan lalu menodong dengan halus.
Di antara gelap, aku mengintip cahaya atau mungkin cahaya itu yang mengintipku?
Beristirahatlah, hai jiwaku, nikmatilah kedamaian. Kecaplah indahnya senyap yang disodorkan semesta.
Asap di atas cangkir kopi luruh di dalam kabut yang menyelimuti lereng bukit. Hanya kabut sejauh mata memandang dan pucuk pinus yang mengintip.
Dengan dalih makhluk modern, kita selalu memaksa diri bergerak lebih cepat. Memacu diri bergerak lebih cepat.dan lebih cepat
Waktunya menunjukkan perasaan, lewat kata-kata, puisi, pesan, lewat cokelat atau bunga dan lewat tinta di ujung jari.
Pada jam-jam yang dihabiskan di depan layar gawai dan cumbu rayu serta puja-puji virtual mereka berharap pada semesta.
Pintu merah jambu terbuka. Di baliknya ada sepasang mata malu-malu, dan segaris senyum malu-maludari lelaki muda hampir melewatkan waktu janjian.
Jarum jam semakin letih setiap kali melompat dari angka yang satu ke angka yang lain.
Pernah, pada suatu purnama kamu menerima cinta seseorang lelaki yang telah lama melabuhkan hatinya kepadamu.
Carilah aku di antara sepi, di antara tirai gerimis yang jatuh tanpa bunyi, di antara angin dan embun pagi
Kita adalah kapal yang belajar mencintai laut mati itu, sudahkah cukup?
Padahal hasil adalah bagian dari rangkaian aksi-reaksi panjang dari perjuangan hidup bernama “proses”.
Berbaris-baris kata terima kasih, dan berbait-bait doa syukur tidak akan pernah cukup untuk membalas Sang Pemilik Kehidupan.