Refleksi Satu Tahun: Kurangi Retorika, Perbanyak Aksi Nyata
Di penghujung Oktober 2025, genap satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjalan. Waktunya bukan lagi untuk janji, tapi untuk pertanggungjawaban. Bukan lagi untuk pidato megah di podium, tapi untuk jejak kaki di dapur sekolah, di balai desa, di pasar tradisional, tempat rakyat benar-benar merasakan atau justru kecewa pada kebijakan yang digulirkan.
Tahun pertama ini seperti cermin yang memantulkan dua wajah sekaligus: di satu sisi, ambisi besar yang menggelegar: Indonesia Emas, kedaulatan pangan, revolusi SDM, makan bergizi gratis untuk puluhan juta anak. Di sisi lain, realitas yang seringkali patah di tengah jalan: anak-anak keracunan, anggaran menguap, koordinasi kementerian tumpang tindih, dan menteri-menteri yang lebih sibuk tampil di layar kaca daripada memastikan programnya sampai dengan selamat.
Kita semua ingat betapa megahnya narasi di awal. Presiden dengan suara tegas menggebrak meja: "Kita tidak main-main!" Wakil Presiden dengan senyum muda menjanjikan "pendekatan baru" yang segar dan dekat dengan rakyat. Tapi setelah seribu hari (atau tepatnya, tiga ratus enam puluh lima hari) yang tersisa bukanlah gebrakan, melainkan pertanyaan: di mana aksinya?
Ambil contoh Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ide awalnya mulia: memberi makan anak-anak yang lapar agar mereka bisa belajar dengan tenang. Tapi dalam pelaksanaannya, program ini justru membuat perut anak-anak sakit, bukan karena lapar, tapi karena makanan yang tidak layak. Ribuan siswa jatuh sakit. Orang tua resah. Guru kewalahan. Sementara itu, di Jakarta, rapat-rapat tingkat menteri masih berdebat soal siapa yang bertanggung jawab. Bukan soal bagaimana menyelamatkan anak-anak.
Ini bukan soal gagal total. Ada sekolah-sekolah yang memang merasakan manfaat MBG. Ada anak yang kini tak lagi datang ke sekolah dengan perut kosong. Tapi manfaat itu ternoda oleh ketidaksiapan sistem, lemahnya pengawasan, dan buramnya tata kelola. Dan yang paling menyakitkan: ketika rakyat protes, jawabannya bukan perbaikan cepat, melainkan pembelaan birokratis atau (lebih parah) diam seribu bahasa dan kalau menjawab dengan Bahasa yang sarkastik: mereka kan terbiasa makan indomie, bukan spagheti.
Retorika memang murah. Siapa pun bisa berdiri di depan kamera dan berkata, "Kami peduli." Tapi aksi itu mahal. Aksi butuh kerja, butuh keberanian mengakui kesalahan, butuh kerendahan hati untuk turun ke lapangan, dan butuh integritas untuk mengutamakan keselamatan rakyat di atas citra politik.
Sayangnya, dalam satu tahun ini, kita lebih sering melihat teater pemerintahan ketimbang pemerintahan yang bekerja. Presiden sibuk keliling dunia, menandatangani nota kesepahaman yang gemilang, sementara di dalam negeri, ibu-ibu di kampung masih bertanya: "Kapan beras bantuan datang?" Wakil Presiden, yang dulu dikenal gesit mengurus urusan kota, kini terasa seperti tokoh latar, hadir dalam foto resmi tapi tak terasa kehadirannya dalam penyelesaian masalah, selalu menghindar setiap kali ada pertanyaan dari wartawan.
Menteri-menteri pun tak kalah sibuk: meluncurkan program, meresmikan proyek, memberi wawancara. Tapi ketika program itu bermasalah, mereka menghilang atau saling lempar tanggung jawab. Padahal, kepemimpinan bukan soal siapa yang paling kencang bicara, tapi siapa yang paling cepat datang saat rakyat kesulitan.