Belajar perlu, tapi istirahat juga wajib biar nggak stres
Puisi Solo Puisi Yuliyanti Puisi Menyeduh Kesedihan Lorong Waktu
Negeri Tanpa Peta Di negeri tanpa peta, jalan selalu macet oleh demo yang tak tentu arah. Di negeri tanpa kompas, pemimpin melangkah sambil meraba ge
Puisi ini menyuarakan isi hati tentang keadilan dan hak rakyat yang tertindas. Puisi ini juga menekankan pada pentingnya keadilan yang nyata
Beberapa rasa tak ditakdirkan menjadi rumah, hanya tempat singgah untuk belajar pulang.Ia tak sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Tidak juga pa
Tidak semua luka bisa dilihat. Luka batin tidak berdarah, tapi efeknya bisa jauh lebih mematikan dari yang kamu kira.
Kita tak bisa mematikan dunia digital, tapi kita bisa menciptakan ruang digital yang lebih sehat.
Kita tersenyum bukan karena bahagia, tapi karena tak tahu harus bagaimana lagi. Di balik tawa yang tampak biasa, ada jiwa yang diam-diam lelah.
Sendiri itu nggak selalu buruk. Kadang malah jadi momen paling penting untuk sembuh, untuk bertumbuh, dan untuk kembali jadi utuh.
Dalam sistem demokrasi, pemimpin adalah pelayan rakyat. Bukan raja, bukan sultan, apalagi raja harem. Setiap malam bukan waktunya membagi 3 jam buat i
keadaan asing diantara kita berdua, karena kesibukan dan aktivitas masing-masing.
Jangan antiklimaks
Smart di Kelas, Santun di Luar: Kampus Butuh Mahasiswa dan Dosen Berakhlak
Di balik senyum seseorang, ada jiwa yang hampir menyerah. Mental itu tidak selalu tampak, tapi sungguh nyata. Mari belajar memahami sebelum menghakimi
Kita hanya butuh didegarkan bukan butuh solusi
Kadang kita merasa dunia ini terlalu berat. Tapi sebenarnya, yang terasa berat itu bukan dunia—melainkan isi kepala dan isi hati kita sendiri.
Jika suatu hari aku tiadaJangan pernah teteskan air mataAku tak butuh sedihmuJika suatu hari aku tiadaKuburlah semua kenangan kitaAku tak butuh engkau
Banyak yang menyangka, selama seseorang duduk di kursi presiden, gubernur, atau bupati maka dia adalah pemimpin.
Dulu aku punya panggung, tim, dan massa. Kini, aku kembali hanya dengan tekad dan sisa nyali. Instansiku tak sekuat dulu, tapi semangatku belum padam.
Al-Qur’an tidak akan pergi. Ia hanya menunggu. Dan saat waktunya tiba, ia akan berbicara. Seperti sahabat lama yang mengerti kita sejak awal.