Aku nggak tahu sejak kapan aku mulai nyaman dengan kesendirian. Mungkin sejak aku sadar, nggak semua kebisingan itu benar-benar berarti.
Kadang justru saat ramai-ramainya orang di sekitar, aku merasa paling sepi. Tapi saat sendirian anehnya, aku bisa merasa utuh.
Banyak orang mengira aku kuat. Aku bisa senyum di tengah masalah, bisa menyelesaikan banyak hal tanpa minta tolong, bisa terlihat tenang meskipun hati kadang keruh.
Padahal, yang mereka nggak tahu aku cuma terbiasa. Terbiasa sendiri. Terbiasa menyembunyikan resah. Terbiasa memeluk sunyi.
Bukan karena aku anti sosial atau nggak butuh teman. Bukan. Aku hanya merasa, dalam kesendirian, aku bisa jujur sepenuhnya.
Nggak ada topeng yang harus kupakai. Nggak ada pencitraan yang harus kujaga. Aku bisa nangis, bisa ngomel, bisa diam sepanjang hari tanpa merasa bersalah.
Di dalam kesendirian itu, aku mengenal diriku sendiri.
Aku belajar menerima bahwa kadang aku rapuh, kadang juga kuat. Kadang aku butuh pelukan, tapi kadang aku juga butuh menjauh sejenak untuk bernapas.
Kesendirian bukan selalu kesepian. Banyak yang takut sendiri karena merasa akan kosong, akan dilupakan, akan ditinggalkan.
Padahal, kadang yang kita butuh bukan pelarian, tapi perenungan.
Pernah suatu waktu aku merasa terlalu lelah. Bukan karena kerjaan, tapi karena beban pikiran.
Banyak hal yang ingin kupahami, tapi malah menumpuk di kepala. Aku mencoba bercerita, tapi rasanya percuma. Bukan karena orang lain jahat, tapi karena aku sendiri belum selesai dengan diriku.